Langkah bersejarah ini menandai dimulainya Revolusi Pupuk Nasional, sebuah gerakan besar di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman untuk merevitalisasi industri pupuk dari hulu ke hilir agar lebih efisien, bersih, dan berpihak pada petani.
Penurunan harga pupuk ini bukan kebijakan instan, melainkan hasil dari pembenahan menyeluruh tata kelola pupuk nasional yang selama puluhan tahun dibebani birokrasi panjang, inefisiensi, serta praktik-praktik menyimpang dalam distribusi.
Pemangkasan rantai birokrasi tersebut berdampak langsung pada ketersediaan pupuk di lapangan. Sistem baru memungkinkan distribusi pupuk berjalan lebih cepat, tepat sasaran, dan terkontrol.
“Dulu pupuk langka di mana-mana. Sekarang ketersediaannya meningkat hampir dua kali lipat, mencapai 9,55 juta ton,” ungkap Mentan Amran.
Reformasi ini sekaligus menjadi fondasi kuat untuk memastikan pupuk tersedia tepat waktu saat musim tanam, sehingga petani tidak lagi terjebak pada kelangkaan yang kerap berulang dari tahun ke tahun.
Selain pembenahan sistem, pemerintah juga melakukan penegakan hukum secara tegas untuk memutus rantai mafia pupuk. Kementerian Pertanian menemukan 27 perusahaan yang terlibat dalam praktik peredaran pupuk palsu. Dari jumlah tersebut, lima perusahaan diketahui menjual pupuk palsu sepenuhnya, sementara sisanya hanya memiliki kandungan sekitar 70 persen dari standar.
Seluruh temuan tersebut telah diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk diproses sesuai ketentuan yang berlaku. Tak hanya itu, pemerintah juga mencabut 2.039 izin kios dan pengecer yang terbukti menjual pupuk di atas harga eceran tertinggi (HET).
Penurunan harga pupuk dicapai melalui reformasi sistem subsidi dan efisiensi industri pupuk nasional. Jika sebelumnya subsidi diberikan di hilir, kini mekanisme dialihkan ke bahan baku, sehingga distribusi menjadi lebih efisien dan mampu menghemat anggaran hingga Rp10 triliun.
Sejalan dengan arahan Presiden Prabowo, PT Pupuk Indonesia juga melakukan modernisasi industri dengan pembangunan pabrik-pabrik baru yang jauh lebih efisien energi.
“Pabrik pupuk baru menggunakan gas hanya 22 hingga 23 persen, jauh lebih hemat dibanding pabrik lama yang mencapai 43 persen. Dampaknya langsung dirasakan petani, harga pupuk turun 20 persen dan APBN tetap efisien,” ujar Mentan Amran.
Revolusi pupuk nasional ini menjadi lebih dari sekadar kebijakan harga. Ia adalah fondasi penting menuju pertanian yang berdaulat, berkelanjutan, dan berpihak pada petani.
Sementara itu, Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) menilai kebijakan pupuk yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 113 Tahun 2025 berada di jalur yang tepat dan menjadi bukti nyata transformasi tata kelola pupuk nasional yang semakin efektif dan berpihak kepada petani.
Ketua Umum KTNA Yadi Sofyan menyampaikan bahwa revisi atas Perpres Nomor 6 Tahun 2025 tersebut membawa dampak signifikan, khususnya dalam peningkatan produksi dan kelancaran distribusi pupuk bersubsidi di seluruh daerah.
“Dengan Perpres Nomor 113 Tahun 2025 ini, kita bicara transformasi. Dampaknya terasa nyata. Produksi pupuk meningkat dari sekitar 30,5 juta ton menjadi 34,77 juta ton, dan dari sekitar 30 kantor perwakilan KTNA di daerah, hampir tidak ada keluhan soal distribusi pupuk bersubsidi,” ujar Yadi di Jakarta, Senin.
Menurut Yadi, kondisi pupuk di lapangan saat ini jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jika pun masih ditemukan dinamika, umumnya berkaitan dengan petani yang belum terdaftar dalam e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) elektronik, bukan karena kelangkaan atau distribusi yang tersendat.
KTNA juga mengapresiasi langkah pemerintah dalam menyederhanakan administrasi penebusan pupuk. Kini, petani cukup menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk menebus pupuk bersubsidi, sebuah terobosan yang dinilai sangat membantu petani kecil.
“Ini memudahkan petani, terutama di desa. Tidak ribet, tidak berbelit. Perpres 113/2025 pada prinsipnya menyempurnakan Perpres sebelumnya, termasuk perubahan skema subsidi ke arah market to market yang lebih sehat,” jelas Yadi.
Meski demikian, KTNA menegaskan bahwa keberhasilan kebijakan ini harus terus dikawal secara kolaboratif agar manfaatnya semakin optimal. Untuk itu, KTNA menyampaikan tiga pilar rekomendasi strategis dalam mendukung implementasi Perpres 113/2025.
Pertama, penyempurnaan data dan digitalisasi dengan melibatkan kelompok tani dalam proses verifikasi dan validasi penerima pupuk di tingkat desa. KTNA juga menekankan pentingnya tetap menyediakan jalur manual bagi petani yang memiliki keterbatasan akses teknologi.
Kedua, peningkatan sosialisasi dan edukasi. Pemerintah bersama PT Pupuk Indonesia diharapkan aktif turun ke lapangan untuk menjelaskan perubahan kebijakan pupuk, terutama terkait skema subsidi dan jenis pupuk yang berhak diterima petani.
Ketiga, penguatan pengawasan partisipatif, dengan memberikan mandat resmi kepada kelompok tani untuk ikut mengawal penyaluran pupuk bersubsidi, sekaligus memperkuat sanksi tegas bagi pelaku penyelewengan.
“Petani siap ikut mengawasi. Kalau tata kelola kuat dan transparan, pupuk sampai ke tangan yang berhak, produksi naik, dan kesejahteraan petani ikut meningkat,” tegas Yadi.