JAKARTA - Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merumuskan penyesuaian aturan porsi saham publik atau free float bagi perusahaan yang akan melantai di bursa. Langkah ini diambil untuk memperdalam pasar modal nasional, namun tetap dengan kehati-hatian agar tidak memicu sentimen negatif bagi calon emiten.
Direktur Utama BEI Iman Rachman mengatakan, proses penentuan angka free float yang baru sangat bergantung pada studi banding (benchmarking) dengan bursa-bursa global. Hal ini krusial untuk memastikan daya saing Indonesia tetap terjaga di mata korporasi yang ingin melakukan IPO.
"Yang paling penting juga adalah bahwa kamu melihat benchmarking. Ini paling penting. Kami perlu benchmarking yang pas karena kalau kami tidak benchmarking, yang ada perusahaan-perusahaan kita bukan listing di Bursa Efek Indonesia, tapi listing di bursa efek lain," tegas Iman di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (30/12/2025).
Saat ini, Indonesia menerapkan standar free float minimum sebesar 7,5 persen. Angka ini tergolong jauh lebih rendah jika disandingkan dengan bursa negara tetangga maupun pasar global utama.
Pemerintah dan regulator menyadari bahwa kenaikan porsi saham publik akan meningkatkan likuiditas, namun mereka juga harus menimbang kesiapan pasar dalam menyerap saham tersebut.