JAKARTA - Undang-undang Pangan No.18/2012 yang baru diterbitkan menjadi penegasan bahwa rezim pangan akan sentralistik. Dengan demikian kelembagaan yang terbentuk akan mengatur urusan pangan dari tingkat pusat hingga daerah.
Wakil Ketua Komisi IV, DPR RI Herman Khaeron mengatakan, UU Pangan yang baru lebih bersifat sentralistik dibandingkan UU Pangan yang lama. Karena itu, pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab atas ketersediaan pangan.
Sebagai penanggungjawab terhadap upaya pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
"Ini diamanatkan pada Pasal 127," kata Herman, saat melakukan sosialisasi UU Pangan di Jakarta, Kamis (17/1/2013).
Sedangkan dalam Pasal 128, lembaga pemerintah tersebut mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pangan. Namun dalam melaksanakan tugasnya, dalam Pasal 129, lembaga pemerintah tersebut dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan, khususnya kepada BUMN di bidang pangan dalam melaksanakan pengadaan, penyimpanan, distribusi pangan pokok dan pangan lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Dengan terbentuknya lembaga pemerintah yang bertanggungjawab kepada presiden, sifat kelembagaannya struktural vertikal hingga ke daerah. Artinya di tingkat provinsi dan kabupaten akan ada institusi yang mengurusi masalah pangan. “Kalau nanti ada Kementerian Pangan, maka akan ada kantor wilayah yang berada di tingkat provinsi,” katanya.
Begitu juga, lanjut Herman, kalau nanti Bulog ditunjuk menjadi lembaga pangan setingkat menteri, maka fungsi Bulog bisa kembali seperti dulu. "Di daerah akan ada Kadolog," tambah Politisi Partai Demokrat ini.
Dengan demikian perencanaan kebijakan pangan di daerah harus mengacu ke tingkat pusat. Jadi tidak bersifat otonom.
"Kami tidak menginginkan urusan pangan diotonomikan ke daerah, karena jika satu wilayah surplus beras/pangan, maka tidak bisa mengirim ke daerah yang defisit. Ini sangat bahaya bagi ketahanan pangan bangsa," ujar Herman.
Menurut Herman, alasan pembentukan lembaga pangan setingkat menteri yang bertanggungjawab langsung ke Presiden karena lembaga pangan yang ada yakni Perum Bulog dan Badan Ketahanan Pangan (BKP) sifatnya hanya koordinatif di bawah Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang diketuai Presiden. Karena itu sangat penting untuk mewujudkan lembaga pangan yang berada di bawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden RI.
Orientasi lembaga pangan ke depan nantinya mengurusi seluruh pangan strategis, bahkan yang sifatnya lintas sektoral. Jadi lembaga pangan tersebut mencakup berbagai hal yang terkait pangan.
"Selama ini yang terjadi peran Kementerian Pertanian (Kementan) sangat lemah dalam koordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Padahal Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sangat strategis dalam penyediaan irigasi," katanya.
Dalam UU Pangan yang baru ini, lanjut Herman, pemerintah diberikan batas waktu pembentukan kelembagaan pangan maksimal tiga tahun setelah UU Pangan diundangkan. Diharapkan dalam masa transisi tiga tahun ini, pemerintah bisa mempertimbangkan dan memilih secara matang bentuk institusi yang cocok sebagai lembaga pangan.
"Kita tidak ingin lembaga pangan yang terbentuk prematur dan kuat menghadapi tantangan persoalan pangan yang makin rumit," ujar Herman.
Herman mengakui, pada awal pembahasan kelembagaan pangan ini memang sempat terpikir untuk melebur tiga lembaga pangan yag ada yakni Bulog, BKP dan DKP. Kelembagaan pangan dari hasil peleburan itu adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK). ”LPNK pangan ini nantinya mempunyai tugas sebagai regulator dan juga operator,” katanya.
Namun rencana tersebut bakal sulit terwujudkan karena adanya Peraturan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN). Padahal jika Bulog menjadi LPNK atau setingkat menteri, tugas dan fungsi Bulog akan lebih leluasa untuk melakukan pengadaan dan buffer stock pangan.
"Sekarang ini Bulog justru sulit menjadi lembaga mandiri menyediakan pangan dan stabilisator pangan karena sebagai perum," tegasnya.
Herman optimistis pembentukan lembaga pangan baru ini adalah Bulog. Apalagi syarat menjadi lembaga struktural vertikal hingga daerah sudah cukup, baik dari SDM, fasilitas dan infrastrukturnya. "Tidak ada pilihan, selain Bulog," tegas Herman.