JAKARTA - Rancangan undang-undang pangan yang ada saat ini, dinilai sangat liberal dan membebaskan swasta untuk bermain di pasar yang tidak sempurna. Imbasnya, di pasar pub bertebaran para spekulan.
Kepala Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Didik J Rachbin mencontohkan, hal tersebut tertuang pada RUU pangan pasal 15 yang berbunyi sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan dari impor, meskipun harus diutamakann produksi dalam negeri.
"Semestinya sistem produksi dan cadangan dalam negeri diatur dalam pasal tersendiri dan bersifat khusus, terpisah dari impor, agar sasaran swasembada pangan utama secara nasional bisa dipenuhi, sebagai kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan pangan bagi penduduknya," ungkapnya kala ditemui dalam diskusi terkait RUU Pangan di Menara kadin, Jakarta, Selasa (6/12/2011).
Dia menegaskan, pasal impor pangan tidak bisa disetarakan dengan produksi dan cadangan pangan. Selain itu, renten ekonomi impor sangat tinggi, sehingga menstimulasi kebijakan impor, mendistorsi kebijakan dan mengabaikan petani. Akhirnya, kebijakan impor dengan rente yang besar menjauhkan dari petani kecil.
Karenannya, Didik menyarankan tujuan UU pangan sebaiknya fokus pada swasembada dan konsumsi atau kecukupan pangan. Di sisi lain subsidi untuk petani tetap sangat penting untuk petani pangan utama bukan petani modern di bidang perkebunan kelapa sawit, karet dan kakao. (mrt)
(Rani Hardjanti)