Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

RUU Pangan Harus Berpihak Pada Petani

Sudarsono , Jurnalis-Rabu, 07 Desember 2011 |06:37 WIB
RUU Pangan Harus Berpihak Pada Petani
Ilustrasi. Foto: Koran SI
A
A
A

JAKARTA - Ketahanan pangan menjadi tugas pemerintah untuk menjamin tersedianya pangan untuk memenuhi kebutuhan warganya.

Rancangan Undang-Undang Pangan yang kini sedang digodok Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diharapkan mampu menjadikan Indonesia sebagai negara yang berkedaulatan pangan secara mandiri.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Didin S Damanhuri mengatakan, RUU Pangan harus berpihak pada petani sebagai produsen pangan nasional. Petani, kata dia, harus disejajarkan dengan pelaku ekonomi lain agar bisa menjadi pelaku industri pangan.

“Petani dalam RUU ini harus bisa memberdayakan dirinya sendiri, diberi akses dalam sumberdaya baik modal maupun informasi. Tujuannya agar petani bisa sejahtera di negara yang kaya sumber daya alam ini,” katanya di Jakarta, Selasa (6/12/2011).

Menurut dia, masalah pangan harus bersifat desentralisasi agar ada keragaman pangan lokal. Dengan keragaman pangan lokal maka konsumsi tidak lagi didorong dengan beras tapi dengan sumber pangan lokal lain seperti jagung maupun umbi-umbian.

“Jadi nantinya desentralisasi daerah ini ada sinergitasnya antardaerah, ada handle untuk daerah-daerah yang kekurangan pangan,” ujarnya.

Dia menegaskan proses desentralisasi dalam pangan ini perlu ada pengawasan secara ketat. Didin mengkritisi draft RUU Pangan yang akan menggantikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan ini karena dinilai kurang sempurna. Dalam pembahasan masalah desentralisasi pangan, hanya menekankan soal impor.

“Yang dimaksud desentralisasi dalam RUU Pangan ini termasuk untuk impor pangan, itu yang harus kita tolak. Impor pangan bisa dilakukan kalau assesmentnya terbuka juga tidak ada rekayasa di dalamnya. Tapi jangan sampai setiap ada kekurangan pangan kita impor, itu namanya rekayasa,” jelasnya.

RUU Pangan ini, lanjutnya, pada dasarnya sudah lebih baik dari Undang-Undang sebelumnya karena sudah membicarakan soal kedaulatan, ketahanan, dan kemandirian pangan.

Namun yang harus diwaspadai adalah isi dari setiap pasal-pasalnya. Masih ada beberapa bagian yang dinilai kurang detail dan tidak menjelaskan soal kemandirian dan kedaulatan pangan.

“Pertama kontennya tidak lengkap, arahnya belum jelas dan beberapa belum ada. Kemandirian dan kedaulatan pangan harus detail, bagaimana di tingkat daerah-daerah nanti, peranan organisasi petani dan koperasi petani ini didorong,” jelasnya.

Pembahasan RUU Pangan masih banyak mendapat perdebatan, bukan hanya soal kemandirian dan kedaulatan pangan tapi juga soal rencana pembentukan Badan Otoritas Pangan (BOP) menggantikan Badan Ketahanan Pangan (BKP) yang selama ini berada di bawah Kementerian Pertanian.

Dalam pasal 113 dan 114 RUU Pangan, disebutkan BOP akan dibentuk di pusat dan di daerah-daerah, dan BOP berfungsi sebagai regulator (penyusun kebijakan) sekaligus operator (pelaksana).

Didin menilai institusional ini penting agar Indonesia aman dalam keamanan pangan, kesehatan dan tidak ada kerawanan pangan. Namun, Didin menegaskan sebaiknya fungsi operator dan regulator tidak boleh digabung melainkan harus terpisah. Ditakutkan kalau fungsi ini digabung dalam satu BOP akan terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme.

“Saya kira BOP ini boleh-boleh saja. Kita diskusikan bersama, asal jangan mematikan desentralisasi. Mungkin idenya BOP ini gabungan Bulog dan Badan Ketahanan Pangan,” katanya.

Ketua Yayasan Agro Ekonomika Noer Sutrisno menolak adanya penggabungan fungsi tersebut untuk sektor pangan. Sebab, kata dia, dengan penggabungan itu maka fungsi pengawasan akan sulit dilakukan sehingga berpotensi menghancurkan target ketahanan dan kemandirian bangsa Indonesia.

“Tapi saya setuju ada Badan Otoritas Pangan, karena selama ini BKP tidak jelas fungsinya. Selama ini lebih condong hanya mengurusi soal produksi pangan karena berada di bawah Kementerian Pertanian,” ujarnya.

Noer menilai esensi penting dalam RUU tersebut sebenarnya mengenai masalah ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Namun sayangnya, lanjutnya, yang berkaitan dengan keamanan pangan yang menjamin keselamatan orang secara lebih luas lagi dalam naskah tersebut ditaruh di posisi akhir pembahasan.

“Padahal produsen pangan petani 17 juta seluruhnya. Yang mengolah pakan ada dua juta, yang berdagang pangan ada enam juta dan konsumsi pangan ada 53 juta rumah tangga. Ini penting bagi penghidupan bangsa,” ujarnya.

Mengenai perlunya BOP yang nantinya akan dibentuk, Noer tidak mempermasalahkannya. Hanya saja badan yang nantinya melakukan koordinasi ketahanan pangan harus berdiri sendiri, independen dan netral.

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement