JAKARTA - Pada 10 Oktober 1834, gempa bumi hebat merusak Istana Bogor, yang saat itu dikenal sebagai Puri Buitenzorg. Alhasil, bangunan tambal sulam-campur aduk berbagai corak arsitektur itu pun rusak parah.
Pada 1850, Gubemur Jenderal Albertus Jacob Duymaer Van Twist memutuskan untuk merubuhkan semua bangunan, dan membangun kembali sebuah istana dengan konsep arsitektur yang sama sekali baru. Demikian hasil penelusuran Okezone dari berbagai sumber, Minggu (6/4/2014).
Malapetaka gempa bumi itu juga mengingatkan para perencana untuk tidak membangun puri yang rentan terhadap gempa. Diputuskanlah mendirikan puri berlantai satu mengikuti gaya Paladio yang populer di Eropa pada abad ke 19.
Hanya denah puri saja yang masih dipertahankan, yaitu konsep bangunan induk di tengah, dan masing-masing sebuah bangunan di sayap kanan dan kiri. Untuk menghubungkan gedung induk dengan gedung sayap, dibangunlah jembatan lengkung dari kayu.
Pembangunan kembali Puri Buitenzorg baru selesai pada masa pemerintahan Gubemur Jenderal Charles Ferdinand Pahud (1856-1861). Pada 1870, Puri Buitenzorg ditetapkan sebagai istana kediaman resmi, bukan lagi rumah istirahat bagi para Gubemur Jenderal Hindia-Belanda.
Kenyataannya, Istana Buitenzorg memang telah menjadi bangunan yang lebih anggun dan berwibawa dibanding bekas rumah saudagar di Rijswijk yang diambil-alih pada tahun 1816 untuk menjadi kediaman Gubemur Jenderal di Batavia.
Dengan keputusan itu, pemerintah penjajah Hindia-Belanda membatalkan rencana membangun istana bagi Gubernur Jenderal di Waterlooplein. Bangunan yang sudah dimulai sejak masa Daendels itu kemudian diperuntukkan sebagai gedung kantor Pemerintahan.
Silih berganti para Gubemur Jenderal Hindia-Belanda bermukim di Istana Buitenzorg yang megah, mewah, dan nyaman. Contohnya adalah Gubernur Jenderal Dirk Fock (1921-1926) yang menaikkan berbagai macam pajak yang sangat menyusahkan rakyat. Kemudian Gubernur Jenderal BC De Jonge (1931-1936) yang bertangan besi. Ia menangkap para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia, antara lain Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, dan membuangnya ke pengasingan.
Bangunan baru Istana Buitenzorg itu juga memiliki menara di atas gedung induknya. Tepat di bawah menara itu terdapatlah tempat untuk para musisi memainkan musik bila diselenggarakan pesta-pesta dansa. Ruang utama dibawah menara itu, sekarang disebut Ruang Garuda, dulu adalah danszaal (ruang dansa) tempat para bangsawan, pejabat pemerintah dan militer, serta saudagar Belanda melakukan pesta-pesta meriah. Pada saat-saat pesta, lampu-lampu gas yang biasanya dipakai sebagai penerangan istana diganti dengan lilin-lilin yang romantis.
Titik di bawah menara itu juga ditetapkan sebagai poros untuk memperhitungkan rencana pemasangan pipa air minum bagi semua warga kota Bogor. Bila pintu-pintunya dibuka, danszaal itu tepat menghadap ke utara, yakni ke jalan utama menuju Batavia melalui Cibinong.
(Widi Agustian)