JAKARTA - Balairung utama Istana Bogor pernah pula digunakan beberapa kali oleh Presiden Soekarno untuk pesta-pesta tari lenso. Ruang ini kemudian diberi nama Ruang Garuda karena penempatan lambang negara Garuda Pancasila pada dinding kepala.
Balairung yang kini ditebari dengan permadani Persia adalah bagian yang paling anggun di Istana Bogor. Demikian hasil penelusuran Okezone dari berbagai sumber, Senin (7/4/2014).
Selain itu, 16 saka berlaras Korintia menopang langit-Iangit berbentuk kubah yang dihias relief bergaya Yunani. Beberapa kandelabra kristal digantung di langit-langit. Di Ruang Garuda ini diselenggarakan acara-acara yang bersifat formal, jamuan santap resmi, pertemuan pertunjukan kesenian, serta peristiwa penting lainnya.
Pada masa Bung Karno, beberapa kali diselenggarakan sidang kabinet di ruang ini. Presiden Soekarno juga beberapa kali menerima surat kepercayaan para duta besar di balairung ini. Pada masa Presiden Soeharto, di balairung ini diselenggarakan pertemuan para kepala negara APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pada 1995.
Ruang tidur utama di gedung induk hingga kini masih dijuluki sebagai Kamar Raja. Di kamar itu terdapat sebuah tempat tidur yang panjangnya hampir tiga meter - khusus dibuat untuk Raja Ibnu Saud dari Saudi Arabia yang pernah berencana mengunjungi Indonesia. Sayangnya, ia membatalkan muhibahnya karena kondisi kesehatannya. Ruang ini dulu merupakan tempat tidur bagi putra-putri Presiden Soekarno.
Pada arah yang berlawanan, sebelum koridor menuju sayap kiri, adalah sebuah ruangan yang dulu dipakai Bung Karno sebagai tempat untuk memutar film. Setiap menjelang akhir pekan, petugas Istana Bogor berangkat ke Jakarta untuk mengambil film-film yang akan dipertunjukkan. Di samping keluarga dan staf Istana, Bung Karno juga sering mengundang pejabat setempat untuk ikut melihat pemutaran film.
Ruang kerja Presiden yang terletak di bagian kiri belakang gedung induk adalah ruang yang besar, bahkan lebih besar dari ruang kerja Presiden di Istana Merdeka dengan jendela-jendela dan pintu besar yang menghadap ke Kebun Raya.
Sejak ditinggalkan oleh Bung Karno, ruang ini tak pernah dipakai sebagai ruang kerja oleh para presiden berikutnya. Karenanya, ruang ini masih dibiarkan sebagaimana tatanan aslinya ketika masih dipergunakan Bung Karno.
Sebuah tenunan songket dari benang emas ditaruh di atas meja kerja besar yang terbuat dari kayu jati. Meja kerja ini menghadap sebuah dinding yang semula mempunyai dua jendela. Dinding besar itu kemudian dimanfaatkan Bung Karno untuk menggantung lukisan besar karya pelukis Rusia, Konstantin Egorovich Makowsky, yang dihadiahkan kepada Bung Karno ketika berkunjung ke Uni Soviet pada 1956.
Sebuah lukisan besar Makowsky lainnya tergantung di ruang makan Istana Bogor. Lukisan itu dibuat pada 1891 dan menggambarkan Pesta Dewa Anggur yang dibeli Bung Karno dari sebuah galeri di Roma pada 1961.
Di Paviliun Amarta (Paviliun 2), pada 11 Maret 1966, tiga orang petinggi militer Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M Jusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud menghadap Presiden Soekarno untuk membicarakan situasi keamanan dan politik Republik Indonesia.
Dalam pertemuan itu, Presiden Soekarno didampingi oleh Wakil Perdana Menteri I (Waperdam) Dr Soebandrio, Waperdam II Dr J Leimena, dan Waperdam III Dr Chairul Saleh. Pertemuan inilah yang menghasilkan Surat Perintah Sebelas Maret, atau yang lebih dikenal sebagai Supersemar
Lepas dari polemik sejarah tentang Supersemar, dokumen yang ditandatangani di Istana Bogor itu menandai awal Pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun.
Istana di Kota Hujan ini tidak saja mewadahi momen-momen penting sejarah bangsa, melainkan juga perdamaian dan kerja sarna internasional maupun regional. Pada 25-30 Juli 1988, misalnya, di sini diselenggarakan The Jakarta Informal Meeting. Pertemuan ini khusus untuk membahas konflik di Kamboja yang dihadiri oleh perwakilan negara-negara ASEAN, Laos, dan Vietnam, juga empat faksi yang bertikai di Kamboja, yaitu Wakil Presiden Republik Demokrasi Kampuchea Khieu Samphan, Presiden Front Pembebasan Rakyat Khmer Son Sann, Pangeran Norodom Ranariddh sebagai Wakil Pribadi Raja Norodom Sihanouk, dan Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Kampuchea Hun Sen.
Istana Bogor menjadi tempat kelahiran Deklarasi Bogor ketika 18 kepala negara di kawasan Pasifik, di antaranya Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, berkumpul dalam konferensi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pada 1995. Deklarasi Bogor adalah kesepakatan yang menentukan jadwal pelaksanaan pasar bebas untuk kawasan Asia-Pasifik mulai tahun 2003.
Kenyataan bahwa bukan Istana Jakarta yang dipakai untuk pertemuan kepala negara APEC, dan tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok yang diselenggarakan di Balai Sidang Jakarta, barangkali membuktikan bahwa Istana Merdeka maupun Istana Negara terlalu kecil untuk penyelenggaraan peristiwa besar seperti itu. Terpilihnya Bogor sebagai tempat penyelenggaraan Summit APEC adalah juga karena pertimbangan keamanan.
Istana Bogor juga pernah dipakai sebagai tempat penataran Manggala/Penatar Nasional oleh BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) antara tahun 1979-1996. Semula program ini diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah. Setelah beberapa angkatan berjalan, Presiden Soeharto kemudian menyarankan agar acara demikian dilaksanakan di Istana Bogor.
Selama penataran, para peserta tidur di kamar-kamar gedung utama maupun di paviliun-paviliun Istana Bogor. Karena terbatasnya ruangan, satu kamar dihuni oleh sekitar tiga peserta. Pengalaman seperti itu ternyata membuahkan kesan mendalam pada para peserta. Ada seorang pastor yang selalu bangun pagi dan membangunkan temannya sekamarnya, seorang kiai, agar menunaikan salat subuh. Pak Harto juga sering datang dan ikut duduk berdiskusi dengan para peserta penataran.
Boleh dikatakan semua pejabat tinggi negara dan anggota DPR hingga periode 1998 telah melewati pintu Istana Bogor untuk menjalani penataran maupun pembekalan. Mulai Januari 1996, di Istana Bogor diselenggarakan penataran yang sifatnya berbeda sama sekali. Penataran untuk pejabat tinggi, semua Eselon 1, gubernur, kepala staf angkatan, panglima, rektor, dan sebagainya yang lebih ditekankan pada acara diskusi untuk mengantisipasi dampak globalisasi.
Di tempat ini juga dilakukan Pembekalan Calon Anggota Legislatif dengan format diskusi bebas sekitar masalah konstitusional dan isu mutakhir.
(Widi Agustian)