JAKARTA - Pemerintah diminta membuat keputusan yang tegas dan mengikat terhadap peruntukan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar bagi PT PLN (Persero). Dengan demikian, konflik antara PLN dengan Pertamina tidak akan terjadi lagi.
Pengamat kebijakan energi, Sofyano Zakaria, memaparkan pemerintah harus membedakan antara penggunaan BBM solar bagi keperluan listrik khusus, untuk pengguna kelompok yang perlu disubsidi yaitu 450 Volt Amper (VA) dan 900 VA dengan solar yang dipergunakan untuk keperluan pembangkit listrik yang dominanĀ bagi golongan mampu termasuk industri.
"Artinya, harus ada audit penggunaan solar pada PLN yang membedakan penggunaan BBM solar bagi operasional untuk listrik bagi kelompok pengguna dengan daya 450 VA dan 900 VA dengan kelompok pengguna dengan daya di atas 900 VA atau kelompok mampu termasuk Industri" papar Sofyano di Jakarta, Kamis (14/8/2014).
Selain itu, subsidi Pemerintah terhadap PLN juga perlu dievaluasi dengan cermat atau dikaji ulang, apakah sudah sejalan dengan kenaikan Tarif Daya Listrik (TDL) yang rutin dilakukan selama ini. "Artinya , adanya kenaikan TDL logikanya harus diikuti dengan berkurangnya subsidi Pemerintah terhadap PLN," sebutnya.
Menurutnya, hasil audit terhadap peruntukan penggunaan BBM solar PLN tersebut bisa dijadikan salah satu referensi dalam menentukan besaran harga beli BBM solar dari pihak manapun.
"Jika PLN menentukan harga beli solar sesuai dengan yang mereka inginkan, dengan pertimbangan bahwa solar tersebut dominan dipergunakan untuk pembangkit yang produksinya dominan pula untuk golongan tidak mampu yang harus disubsidi, maka ini akan bisa dimaklumi oleh siapa pun termasuk Pertamina sebagai persero milik Negara," ucapnya.
Sehingga audit subsidi PLN sejalan pula dengan ikhtisar hasil Pemeriksaan BPK semester I (IHPS) 2013 yang disampaikan dalam sidang Paripurna di Gedung Nusantara DPR RI pada 1 Oktober 2013.
BPK menyatakan adanya subsidi senilai Rp44,61 triliun yang diberikan kepada golongan tarif pelanggan menengah,besar, khusus dan Pemerintah. "Hal itu bertentangan dengan tujuan pemberian subsidi sehingga alokasi subsidi listrik menjadi tidak tepat sasaran," tukas dia.
(Martin Bagya Kertiyasa)