Dari data ekspor timah tersebut tercatat bahwa PT Timah telah mengekspor 49.240 metrik ton (MT) atau sekitar 41,13 persen dari total ekspor timah dari Provinsi Babel yang dihasilkan dari wilayah usaha pertambangan seluas 473.800 ha atau 89 persen dari total wilayah usaha pertambangan (WUP) yang ada di Babel.
Berikutnya PT Koba Tin mengekspor sebanyak 7.400 MT dengan luas WUP 41.680 ha atau delapan persen dari seluruh WUP di Babel. Sementara itu, perusahaan timah gabungan swasta yang disinyalir sekitar 30-an jumlahnya, justru mengekspor 63.071 MT atau sekitar 52,69 persen dari total ekspor timah dari Babel. Padahal WUP yang tercatat hanya seluas 16.884 ha atau tiga persen saja dari total wilayah usaha pertambangan yang ada di Provinsi Babel.
Semula diduga Timah tidak efisien dalam proses produksinya, sehingga hasil produksinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan gabungan perusahaan smelter swasta. Tetapi setelah membandingkan data produksi PT Koba Tin dengan gabungan perusahaan swasta, hasilnya diindikasikan tidak masuk akal. Di mana gabungan perusahaan swasta tersebut bisa memperoleh timah melampaui PT Timah (Persero) Tbk dan PT Koba Tin. Padahal WUP-nya jauh lebih kecil ketimbang dua perusahaan tersebut.
Diduga, illegal mining di Pulau Babel tidak hanya dilakukan oleh tambang inkonvensional (TI), tetapi bisa juga oleh perusahaan berizin resmi seperti perusahaan smelter. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian penegak hukum, karena kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar.
Tambang inkonvensional jelas melanggar hukum, karena praktiknya dilakukan di wilayah usaha pertambangan (WUP) milik sebuah perusahaan tertentu atau di wilayah yang bukan wilayah usaha pertambangan, dan hasilnya dijual kepada para kolektor. Tetapi yang melanggar hukum bukan hanya para pelaku TI, bisa juga pengusaha berizin resmi yang memanfaatkan TI melalui kolektor.
(Rizkie Fauzian)