JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro terus didorong melakukan upaya mitigasi risiko dalam mengelola anggaran negara berdasar kesepakatan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal itu demi menindaklanjuti temuan-temuan yang ada dalam proses audit demi perbaikan
“Upaya membangun komunikasi yang dilakukan oleh Menkeu kepada BPK untuk mendapatkan supervisi adalah hal positif yang perlu diapresiasi,” ucap Anggota Komisi XI M Misbakhun di Jakarta, Jumat (5/6/2015).
BPK kembali memberikan predikat wajar dengan pengecualian (WDP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2014. Meski masih ada beberapa temuan dari BPK yang berpengaruh pada opini atas LKPP 2014, namun Pemerintah dinilai telah menunjukkan upaya serius untuk melakukan perbaikan.
“Opni WDP yang dicapai pemerintah saat ini merupakan opini yang mempunyai upaya-upaya perbaikan yang mendasar dan prinsipil,” kata Misbakhun.
Dia meyakini opini BPK atas LKPP akan meningkat dari WDP menjadi wajar tanpa pengecualian (WTP) pada tahun depan.
Sebelumnya, BPK RI menyatakan ada empat permasalahan terkait tata kelola keuangan pemerintah yang ditemukan BPK dalam proses auditnya atas LKPP 2014. Hal itu mempengaruhi BPK RI dalam memberikan hanya predikat WDP kepada LKPP 2014.
Yakni adanya pencatatan mutasi Aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) senilai Rp2,78 triliun yang tidak dijelaskan oleh pemerintah. Hal itu terjadi karena pencatatan dan pelaporan Aset KKKS belum didukung oleh sistem pengendalian yang memadai serta dapat menjamin keakuratan dan kelengkapan transaksi.
Kedua, permasalahan utang kepada pihak ketiga di tiga kementerian/ lembaga sebesar Rp1,21 triliun yang tidak dapat ditelusuri dan tidak didukung oleh dokumen yang memadai.
Keiga kementerian lembaga itu adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan nilai sebesar Rp1,12 triliun, Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia sebesar Rp59,12 miliar, dan BP Batam sebesar Rp23,33 miliar.
Ketiga, masih ada permasalahan pada transaksi dan atau saldo yang membentuk Sisa Anggaran Lebih (SAL) senilai Rp5,14 triliun, Sehingga penyajian catatan dan fisik SAL tersebut tidak akurat.
Keempat, Pemerintah belum memiliki mekanisme pengelolaan dan pelaporan tuntutan hukum. Akibatnya, belum jelas unit
kerja yang bertanggung jawab untuk melakukan administrasi dan validasi atas tuntutan hukum yang telah inkracht untuk dicatat atau diungkap sebagai kewajiban.
BPK RI pun menyarankan agar keempat permasalahan itu menjadi perhatian pemerintah untuk mengambil langkah--langkah perbaikan. Sehingga ke depan, permasalahan yang mempengaruhi kewajaran laporan keuangan semakin berkurang dan tidak menjadi temuan berulang.
(Widi Agustian)