JAKARTA – Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) memandang Indonesia tidak mungkin sepenuhnya terhindar dari dampak praktik transfer pricing. Karena itu, Indonesia harus mempersiapkan regulasi dan law enforcement yang kuat untuk melindungi kepentingan. Praktik transfer pricing merupakan salah satu bentuk kegiatan dari neoliberalisme.
Menurut anggota Dewan Pengurus Nasional IAI Maliki Heru Santosa, tujuan utama transfer pricing adalah mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan. Tapi, sering juga transfer pricing digunakan oleh perusahaan multinasional untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antar divisi.
Maliki menekankan bahwa kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya transaksi karena adanya hubungan istimewa. Dalam lima tahun terakhir, isu transfer pricing telah menjadi isu global yang kompleks dan tidak bisa diselesaikan secara parsial. Kepentingan yang berbeda antar pelaku bisnis dengan kantor pajak membuat isu ini tidak mudah diselesaikan.
"Praktik transfer pricing ini diduga telah menimbulkan kerugian di sektor perpajakan mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah. Praktik tidak wajar ini cenderung menguntungkan bagi negara-negara yang justru melindungi praktik tidak terpuji, seperti negara-negara tax haven countries," ujarnya di acara “Transfer Pricing In The Era Of Transparency” di Jakarta, Selasa, 15 September kemarin.
Menurut dia, transfer pricing merupakan isu klasik di dunia perpajakan, khususnya menyangkut transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinational. Dari sisi pemerintah, transfer pricing berpotensi mengurangi penerimaan pajak negara, karena perusahaan multinational cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari negara yang memiliki tarif pajak lebih tinggi ke negara yang menerapkan tarif pajak lebih rendah.