JAKARTA - Pada tahun lalu, Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak mencapai Rp1.060 triliun. Pajak non-migas masih menjadi penyumbang terbesar bagi penerimaan negara sektor pajak, yaitu sebesar Rp1.011,16 triliun. Artinya, pajak minyak dan gas (migas) hanya menyumbang 4,7 persen dari total penerimaan pajak tahun lalu.
Kecilnya persentase penerimaan negara sektor migas ini disebabkan oleh rendahnya harga minyak dunia yang telah menyentuh USD30 per barel. Padahal, dua tahun sebelumnya harga minyak dunia masih berada dikisaran USD100 per barel.
Kendati demikian, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiastiadi mengaku tidak dapat melakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pada sektor migas di Indonesia. Pasalnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak memiliki wewenang dalam perundang-undangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Pajak Penghasilan (PPh) sektor migas.
"Direktorat Jendral Pajak tidak bisa memeriksa PPh migas. Yang memeriksa adalah, istilahnya dalam UU Migas itu adalah akuntan negara. Akuntan negara ya BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan)," kata Ken dalam sesi wawancara khusus beberapa waktu lalu.
Pemungutan pajak ini pun juga tak dapat dilakukan oleh DJP. Pasalnya, kewenangan untuk memungut pajak migas ini berada pada Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan.
"Kalau migas, migas ini ekspor, investasi besar sekali. Hasil ekspor migas ini pajaknya itu yang memungut, yang menarik bukan DJP. (Tetapi) bagi hasil," tandasnya.
Untuk diketahui, saat ini DJP telah memiliki Direktorat Intelijen Pajak dan 4.551 petugas penyidik perpajakan. Namun, dengan adanya aturan pembatasan kewenangan pada sektor migas, maka DJP tidak dapat leluasa untuk memeriksa dan memungut pajak pada sektor migas.(rai)
(Rani Hardjanti)