Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

2 TAHUN JOKOWI-JK: Utak-atik Kebijakan BBM dan Taktik Penyediaan Listrik

Dhera Arizona Pratiwi , Jurnalis-Kamis, 20 Oktober 2016 |12:12 WIB
2 TAHUN JOKOWI-JK: Utak-atik Kebijakan BBM dan Taktik Penyediaan Listrik
Ilustrasi : Okezone
A
A
A

JAKARTA - Hari ini, 20 Oktober 2016, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JK) genap berusia dua tahun. Bila ditelisik mendalam, maka selama itu pula sudah banyak program-program yang dihasilkan oleh keduanya.

Salah satunya adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Menjawab Nawacita nomor tiga tersebut, Jokowi-JK melakukan terobosan sebuah megaproyek pembangkit listrik berkapasitas total 35.000 megawatt (mw), yang kemudian ditargetkan bisa terbangun hingga 2019. Gunanya? Jangan ditanya lagi, ini demi cita-cita Jokowi-JK yang ingin membuat antarwilayah di Indonesia baik itu Barat dan Timur, tak ada lagi ketimpangan. Utamanya, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis khususnya kedaulatan energi.

Komitmen pembangunan 35.000 mw ini tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2016-2025 yang disahkan melalui Keputusan Menteri ESDM nomor 5899 K/20/MEM/2016.

Dalam RUPTL tersebut ada 109 proyek program 35.000 mw di seluruh Indonesia. Dalam RUPTL tersebut pihak swasta (Independent Power Producer/IPP) akan melakukan pembangunan pembangkit sebesar 25.068 MW atau sekitar 70%, sedangkan PLN akan membangun pembangkit sebesar 10.559 MW atau 30%.

Program ini memang tergolong ambisius. Tak ayal, banyak pro dan kontra bermunculan di kalangan pihak. Namun, Jokowi-JK tak patah arang, keduanya yakin pembangunan 35.000 mw akan bisa tercapai hingga 2019 mendatang.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pembangunan pembangkit listrik 35.000 mw hingga saat ini masih terus berjalan dengan baik dan terarah. Hanya saja, perkembangan pembangunannya masih jauh dari target yang telah ditetapkan oleh pemerintah setiap tahunnya.

Sebagaimana diketahui, pemerintah menargetkan mulai beroperasinya pembangkit listrik (Commercial Operation Date/COD) pada 2016 sebesar 4.212 mw, 2017 sebesar 6.389 mw, 2018 sebesar 9.237 mw, dan 2019 COD sebesar 19.319 mw. Namun faktanya, hingga saat ini COD dari porsi PLN adalah sudah 168 mw, sementara IPP 64 mw. Sehingga jika ditotal, pembangkit yang sudah berhasil beroperasi adalah 232 mw.

Ada ragam kendala yang selama ini menjadi faktor penghambat percepatan 35.000 mw, yakni bersumber dari eksternal dan internal. Permasalahan internal misalnya saja masalah telat rampungnya revisi RUPTL 2016-2025 yang membuat proyek ini belum bisa dieksekusi sebelum RUPTL rampung. Kemudian, masalah utama lainnya adalah terkait sulitnya pemerintah untuk melakukan pembebasan lahan di sejumlah daerah.

Untuk itu, pemerintah harus segera mengambil langkah yang lebih konkret. Misalnya, pemerintah harus menggunakan pendekatan bisnis yang berbeda. Jika tidak demikian, maka program ini akan selamanya berjalan tidak secara maksimal. Alhasil, target pembangkit 35.000 mw sudah terbangun di 2019 pun disinyalir tidak akan tercapai.

"Kalau program ini sebenarnya bukan program biasa, sehingga memerlukan pendekatan yang tidak biasa. Artinya bukan business as usual. Tapi dua tahun ini saya melihat pemerintah selalu menggunakan pola bisnis pada umumnya. Jadi wajar targetnya masih segitu," ujarnya kepada Okezone, di Jakarta.

Pemerintah juga diminta untuk terus bekerja keras dalam rangka percepatannya. Utamanya, masalah pembebasan lahan yang selama ini menjadi salah satu masalah yang harus pertama kali diselesaikan. Maka dari itu, pemerintah diminta untuk segera memetakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di seluruh daerah.

"Peta tata ruang juga belum terintegrasi. Jadi harus ada rencana tata ruang," tuturnya.

Selain dua faktor di atas tersebut, diakui masih ada kendala lainnya dalam percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 35.000 mw. Sebut saja aspek yang paling sensitif yakni finansial, keterbatasannya sumber daya manusia (SDM) dari PLN itu sendiri, hingga kurangnya koordinasi lintas sektor atau kementerian.

Namun demikian, PLN diminta untuk terus fokus dan menjalankan tupoksi yang telah diamanatkan oleh pemerintah dalam membangun pembangkit 35.000 mw sesuai porsinya hingga 2019 mendatang. Termasuk salah satunya turut mengawasi perkembangan pembangunan pembangkit yang dilakukan oleh pihak swasta (IPP).

Subsidi Listrik Jauh Lebih Transparan Ketimbang BBM / Pencabutan Subsidi Listrik 900 Va Harus Matang

Pada pertengahan 2016, Sudirman Said yang ketika itu masih menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mencanangkan rencana untuk mencabut subsidi listrik tarif golongan daya 900 Volt Ampere (VA). Ini merupakan program pencabutan subsidi kepada pelanggan listrik kategori golongan mampu, yang tertunda penerapannya dari awal tahun ini. Rencana tersebut pun sudah diajukan kepada Jokowi.

"Harus tahun ini. Tapi kita akan lihat timing-nya supaya tidak memberatkan masyarakat," ujar dia di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta (8 Juni 2016).

Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), ada sebanyak 18 juta pelanggan masyarakat mampu yang tidak layak disubsidi. Angka ini merupakan hasil koordinasi dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dan verifikasi PT PLN (Persero) di lapangan sejak Januari lalu. Hasilnya, hanya 4,3 juta pelanggan 900 VA dan semua pelanggan 450 VA yang mendapat bantuan pemerintah.

Komaidi menuturkan, subsidi listrik sebenarnya jauh lebih transparan bila dibandingkan dengan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Ini dikarenakan pelanggan listrik, tergolong jelas.

Namun demikian, pemerintah diminta untuk lebih dulu melakukan verifikasi terhadap jumlah pelanggan yang tidak berhak tersebut. Jika benar adanya, maka memang sebaiknya hanya masyarakat menengah ke bawah yang berhak menikmati subsidi.

"Temuan benar-benar banyak orang kaya di dalamnya saya kira verifikasi dulu. Karena izin pemasangan kan dari teman-teman PLN sendiri. Jadi agak surprise sekian juta orang kaya itu yang pakai. Apakah itu tidak hanya satu atau dua temuan saja, mungkin ada yang kemudian diambil kesimpulan secara umum. Kalau temuan valid ya silakan eksekusi yang tidak berhak. Kalau belum putuskan dicabut, dipastikan dulu," katanya.

Secara relatif, subsidi listrik jauh lebih tertata karena pemetaan pelanggannya jelas. Akan tetapi, konteks subsidi ini bisa dipandang menjadi dua. Pertama, subsidi bisa timbul karena harga jual yang terlalu murah, sehingga mau tidak mau diperlukan subsidi. Namun subsidi bisa juga menimbulkan biaya produktivitas terlalu mahal.

"Harus fair lihatnya. Subsidi yang tidak efisien berapa, kemurahan berapa, sehingga pendekatan kebutuhan jadi lebih tepat. Paralel jadinya. Bahas konsumen yang tidak berhak dapat subsidi dicabut, saya sepakat. Tapi itu tidak mengesampingkan PLN efisien tidak timbul subsidi. Tidak kerendahan," sebut dia.

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement