YOGYAKARTA – Bank Indonesia (BI) Yogyakarta telah menindak 18 Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA). Sebanyak 18 KUPVA tersebut sebelumnya kedapatan tidak mengantongi izin dari BI dalam menjalankan bisnisnya.
“Sebanyak 18 KUPVA tersebut merupakan KUPVA nonbank,” ujar Kepala Perwakilan Bank Indonesia Yogyakarta, Budi Hanoto. Menurutnya, KUPVA bisa dijalankan oleh dua lembaga, bank ataupun nonbank. Biasanya, KUPVA yang dijalankan oleh bank sudah mengantongi izin dari BI karena memang untuk mengembangkan produk layanan masyarakat harus mendapat persetujuan dari BI ataupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Nah, yang belum berizin tersebut semuanya nonbank. Bisa jadi lembaga ataupun individual,” tuturnya. Budi mengatakan, dari awal tahun seusai keluar ketentuan BI terkait KUPVA, BI memang langsung melakukan penyisiran. Sebanyak 22 KUPVA menjadi sasaran dari penyisiran ini. Hasilnya dari puluhan KUPVA yang ada di DIY, 15 di antaranya sudah mengantongi izin operasional dan 18 lainnya belum berizin alias ilegal. Beberapa opsi diberikan kepada pemilik KUPVA tersebut. Di antaranya tetap menjalankan usahanya dengan segera mengajukan izin atau menghentikan usahanya.
Dalam razia tersebut, 6 KUPVA menyatakan diri mengurus izin, dua langsung menutup usahanya ketika akan di razia, dan sisanya menyatakan menghentikan usahanya. Deputi Kepala Perwakilan BI Yogyakarta Hilman Tisnawan mengatakan, di Indonesia sudah ada sekira 1.064 KUPVA yang berizin. Tiga kota besar di antaranya ada di Jabodetabek, Bali, dan Batam. Omzet KUPVA di tiga kota tersebut cukup besar bahkan ada yang mencapai Rp25 miliar. Oleh karena itu, untuk mengajukan izin memang perlu ada modal.
“Kalau di Yogyakarta hanya Rp100 juta. Itu tidak disetor ke BI, tetapi milik KUPVA,” tutur Hilman. Dari 1.064 KUPVA yang berizin tersebut telah memiliki cabang sebanyak 883 buah di beberapa kota, termasuk Yogyakarta. Sementara di Yogyakarta sendiri setidaknya baru sekira 15 KUPVA yang sudah mengantongi izin. Sisanya belum mengantongi izin dan diberi kesempatan hingga 7 April 2017 sebelum ditertibkan.
Sebenarnya, ketika sudah berizin, justru akan mempermudah ruang gerak dari KUPVA tersebut. Mereka diperbolehkan bekerja sama dengan pihak lain seperti hotel ataupun usaha lainnya. Namun tidak semuanya pelaku KUPVA yang bersedia mengajukan izin dengan berbagai alasan. Ketika tidak berizin, maka BI tidak bisa melakukan pembinaan. Bahkan jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, BI tidak bisa memfasilitasi untuk menyelesaikannya. KUPVA yang tidak berizin sering kali disalahgunakan.
Seperti yang sudah terjadi di Kepulauan Riau di mana miliaran rupiah mengalir ke 11 negara dengan pemanfaat bandar narkoba. “Jadi izin itu untuk meminimalisasi kemungkinan disalahgunakan,” tandasnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)