“Jika gas Qatar semakin sulit mencapai pasar global, khususnya Eropa, maka UE mungkin merasa terancam dengan prospek lebih tergantung pada impor gas Rusia, keputusan yang sangat berat secara politik bagi banyak negara anggota UE,” ungkap laporan Kuwait Financial Center.
Qatar juga memompa lebih dari 2 miliar kaki kubik gas harian melalui jaringan pipa ke UEA khususnya untuk pembangkit listrik. Sebagian kecil ekspor gas melalui jaringan pipa itu menuju Oman. Jadi jika terjadi gangguan pada suplai gas Qatar, maka akan menyakitkan bagi beberapa negara.
Krisis Teluk yang semakin serius atau konfrontasi militer, dapat mengakibatkan harga minyak naik. “Jika konflik berkembang menjadi konfrontasi militer, saya perkirakan terjadi kenaikan sekira USD150 per barel minyak dari saat ini yang berada di bawah USD50 per barel,” ujar Seznec. Harga gas juga akan naik beberapa kali. Kondisi ini terjadi seiring lompatan besar pada premi asuransi. Jika harga minyak naik tiga kali seperti prediksi Seznec, konflik akan mengganggu jalur suplai minyak dan gas dari sebagian besar negara Teluk, termasuk Arab Saudi yang menjadi pengekspor minyak mentah terbesar di dunia.
Enam negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) yakni Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan UEA, mencakup seperlima ekspor minyak mentah global atau sekira 13 juta barel per hari. Pendapatan dari ekspor energi mencakup lebih 80% pendapatan publik untuk enam anggota tersebut. Raghu menjelaskan, peningkatan krisis dapat mengakibatkan blokade rute laut dan biaya pengiriman gas global meningkat. Para importir utama LNG Qatar seperti Jepang, Korea Selatan, dan India mungkin menghadapi keterbatasan suplai sehingga harus mencari pemasok lain dalam jangka panjang.
(Fakhri Rezy)