JAKARTA - Daya beli masyarakat ditaksir melemah. Hal ini dapat dilihat dari sepinya beberapa mal besar serta sulitnya pertumbuhan retail.
Namun, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mempertanyakan indikasi dari pelemahan daya beli ini. Daya beli masyarakat dinilai tak hanya dapat dilihat secara temporal pada kurun waktu tertentu.
"Barangkali kalau ngomong daya beli menurun itu dari mana indikasinya? Paling orang bilang, pertumbuhan ritelnya mengecil, gitu kan? Itu karena diukur pada Juni. Bulan Juni itu Lebaran. Di setiap bulan Lebaran terjadi perlambatan kenaikan konsumsi, karena orang habis-habisan ketika puasa dan Lebaran. Juli tahun lalu itu Lebaran juga. Coba lihat datanya, melambat. Saya tidak bermaksud mengatakan, 'oh tidak benar itu perlambatan'. Tapi tunggu aja dulu datanya keluar yang bulan Juli," kata Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (2/8/2017).
Baca Juga:
Pusat Belanja Sepi, BPS: Karena Macet, Orang Belanja Online!
Mal di Jakarta Sepi Peminat, Ini Daftarnya!
Penurunan daya beli bisa saja disebabkan adanya kenaikan kebutuhan lainnya. Salah satunya adalah kebutuhan sekolah mengingat adanya tahun ajaran baru. Namun, bukan berarti ekonomi masyarakat mengalami penurunan.
"Habis Lebaran inflasi itu turun. Sama aja dua-duanya. Karena apa? Satu, orang pada ngurangin belanjanya. Kedua, karena Juli itu mau masuk sekolah, orang mulai tahan duitnya dulu, karena pada mau belanja untuk sekolah anaknya, mau belanja alat sekolah, dan sebagainya," ujarnya.
Sementara itu, pelemahan daya beli ini diyakini tidak berpengaruh besar pada investais. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong pun masih optimis target realisasi investasi pada tahun ini akan tercapai.
"Kalau umpanya investasi di sektor ritel volumenya lemah, investasi di sektor itu kurang pasti bisa ditutup dari sektor yang lain, dari sisi target keseluruhannya," ujar Thomas Lembong pada kesempatan yang sama.
Hanya saja, Thomas Lembong mengaku khawatir terkait dengan struktur investasi. Hal ini pun telah disampaikan oleh Jokowi kepada Presiden Joko Widodo.
"Andai kata investasi lebih banyak masuk ke sektor padat modal, atau investasi ditujukan untuk efisiensi yang mengurangi lembur, mengurangi ketergantungan tenaga kerja, otomatisasi, efisiensi logistik itu justru mengurangi lapangan kerja dan memperlemah daya beli, memperlemah penghasilan, atau posisi tawar pekerja. Jadi ujungnya bergantung kepada business confidence, keyakinan dunia usaha, dan itu sangat dipengaruhi regulasi," ujar Mantan Menteri Perdagangan ini.
Persoalan regulasi pun harus menjadi perhatian utama pemerintah. Diharapkan, pemerintah nantinya dapat melakukan sosialisasi sebelum menerbitkan aturan.
"Jadi kalau regulasi-regulasi kita ngawur, dan keluarnya mendadak-mendadak tanpa masa transisi, masa sosialisasi itukan akan menghantam keyakinan dunia usaha dan akan menimbulkan ketidakpastian, kecemasan, itu yang membuat dunia usaha lebih mengorientasikan dunia usaha untuk mengurangi lembur, sungkan untuk keluar uang melatih pekerjanya, kalau nantinya tidak ada order kan percuma," jelasnya.
Waduh! Tingkat Kekosongan Mal Makin Parah
Penjualan ritel saat ini memang tengah mengalami penurunan. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan nilai investasi di Indonesia yang terus meningkatkan. Anomali ini pun perlu menjadi kajian secara khusus oleh pemerintah.
"Saya mencoba merekonsiliasi antara terus meningkatnya jumlah investasi dnegan ritel sales yang lemah karena dropnya sangat drastis, dari biasanya tumbuh 12%-14% per tahun, sekarang hanya tumbuh 3%, inflasi saja 4% berarti pertumbuhannya di bawah inflasi, jadi netto inflasi malah bisa menciut, ini harus ada penjelasannya, kok bisa investasi naik terus tapi daya beli malah turun, harusnya investais naik penghasilan naik, sehingga permintaan naik, tapi ini misteri," ujarnya.
Ekonomi Indonesia sendiri saat ini cukup stabil. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang masih berada pada level 5%. Namun, BKPM menilai bahwa pemerintah tetap perlu melakukan reformasi, deregulasi, dan rasionalisasi pada berbagai kebijakan.
(Dani Jumadil Akhir)