JAKARTA - Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa pencetakan dan pengeluaran rupiah tahun 2016 telah sesuai dengan kriteria. Akan tetapi, pemusnahan Rupiah tahun 2016 belum sepenuhnya sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Mengutip Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS I) BPK, Jakarta, Selasa (3/10/2017), hal tersebut didasarkan atas kelemahan sistem pengendalian intern dalam kegiatan pencetakan dan pemusnahan rupiah.
Baca juga: BI Musnahkan Uang Rp665 Miliar di Papua, Kenapa?
Adapun permasalahan utama pengendalian intern tersebut yakni:
1. Standard Operational Procedure (SOP) belum berjalan optimal
Bank Indonesia : Preferensi masyarakat terhadap uang logam lebih rendah daripada proyeksi BI, sehingga stock hasil cetak sempuran (HCS) uang logam dalam jumlah cukup tinggi masih tersimpan di khazanah BI dan Perum Peruri, dan belum di distribusikan.
Perum Peruri: Menurut prosedur untuk Hasil Cetak Tidak Sempurna (HCTS) Perum Peruri harus melakukan pons bintang, mengemas ke dalam plastik dan memberi label HCTS. Tetapi masih terdapat banyak HCTS uang kertas yang belum dilakukan pons bintang dan memenuhi khazanah departemen uang kertas.
Baca juga: Info Adanya Uang Pecahan Rp200.000 Kembali Marak, Benar atau Hoax?
2. Pelaksanaan kebijakan mengakibatkan peningkatan biaya
Bank Indonesia: Pengiriman bahan uang dari pemasok luar negeri tertahan karena perusahaan pelayaran yang akan mengirimkan mengalami kepailitan, dan untuk mengatasi stock bahan uang yang menipis BI mengirimkan bahan uang tersebut menggunakan air freight dengan mengeluarkan biaya tambahan senilai EUR62.000,00 dan Rp360,28 juta. Di samping itu, proses pencetakan uang rupiah dihentikan selama dua minggu karena pemberitaan media terkait dengan isu desain rectoverso.
Selain itu, terdapat pembayaran atas penggantian sparepart pada kegiatan pemeliharaan rutin mesin perkasan yang sebenarnya tidak dilaksanakan.
Baca juga: Sepanjang Mei, BI Catat Uang Beredar Rp5.126 Triliun
3. Kelemahan pengelolaan fisik aset
Perum Peruri: Penyimpanan dan penatausahaan pelat cetak uang belum memadai, sehingga terdapat 12 pelat tahun produksi 2016 yang belum digunakan untuk produksi, tetapi tidak diketahui keberadaannya, dan petugas belum mengadministrasikan dan menyimpan pelat cetak afkir secara tertib.
Adanya hasil HCS uang logam yang dititipkan BI kepada Peruri sementara daya tampung ruang khazanah pada Peruri terbatas, mengakibatkan terdapat titipan HCS uang logam yang diletakkan di lorong gedung uang logam.
4. Proses penyusunan laporan tidak sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia: Terdapat perbedaan/ selisih data persediaan bahan uang, karena BI belum melakukan rekonsiliasi secara periodik dan konsisten atas jumlah fisik persediaan bahan uang dalam laporan monitoring perkembangan persediaan bahan uang dengan data menurut tata usaha bayangan dan sistem akuntansi.
Dari keempat permasalahan tersebut mengakibatkan banyaknya hasil cetak tidak sempurna (HCTS) uang kertas yang menumpuk di Khazanah Perum Peruri. Hal ini membuat BI menanggung kelebihan biaya penggantian sparepart, biaya air freight dan biaya storage.
Selain itu, pelat cetak uang afkir yang masih tersimpan dan belum dimusnahkan tidak dapat dipastikan keamanannya.
Sedangkan titipan Hasil Cetak Sempurna (HCS) uang logam berpotensi mengganggu proses produksi uang di Perum Peruri, dan risiko keamanan atas HCS uang logam yang berada di luar khazanah.
Terakhir, persediaan bahan uang di BI belum dapat diyakini keberadaannya.
Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas pencetakan, pengeluaran, dan pemusnahan Rupiah mengungkap 6 temuan yang memuat 8 permasalahan sistem pengendalian intern.
(Fakhri Rezy)