JAKARTA – Pemerintah menargetkan ekspor nonmigas pada 2018 bisa tumbuh pada kisaran 5-7%. Target ini terbilang moderat jika dibandingkan dengan target tahun lalu yang sebesar 5,6%.
Meski Badan Pusat Statistik (BPS) belum secara resmi mengumumkan pencapaian ekspor tahun 2017, pemerintah meyakini kinerja ekspor 2017 akan melampaui target. Total ekspor tahun 2017 diproyeksikan senilai USD170,3 miliar. Untuk ekspor nonmigas, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memproyeksikan hingga akhir tahun nilainya mencapai USD155,5 miliar atau di atas target yang ditetapkan senilai USD138,8 miliar.
“Untuk periode Januari-November 2017 saja realisasi ekspor nonmigas sudah mencapai USD139,68 miliar. Artinya sudah melampaui target,” ujar Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita di Gedung Kemendag, Jakarta.
Baca Juga: Naik 5,62%, Ekspor Barang Rajutan Bali Capai USD1,34 Juta
Kendati pencapaian ekspor nonmigas 2017 dipastikan melampaui target, pemerintah tahun ini menetapkan target pertumbuhan ekspor yang cenderung moderat yaitu 5-7%. Mendag menjelaskan, target tersebut dibuat dengan melihat asumsi-asumsi APBN, termasuk di dalamnya target pertumbuhan ekonomi 2018 yang berkisar 5,2-5,4%.
Untuk meningkatkan kinerja ekspor selain menyasar pasar ekspor tradisional, seperti China, Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa, Kemendag terus melakukan penetrasi pasar ekspor ke negaranegara nontradisional. Kemendag serius meningkatkan perdagangan di kawasan Afrika dengan Afrika Selatan, Nigeria, dan Mesir, salah satunya melakukan misi dagang.
Sedangkan di kawasan Amerika Latin, Kemendag masuk melalui Chili dengan menyelesaikan Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Indonesia- Chile (IC CEPA) dan misi dagang. Dirjen Peningkatan Ekspor Nasional Kemendag Arlinda mengklaim misi dagang ke berbagai negara cukup efektif.
Baca Juga: 2025, Indonesia Rajai Ekspor Buah Tropis di ASEAN
Di luar Jepang, tahun 2017 Kemendag melakukan misi dagang ke negara-negara di luar negara pasar utama, di antaranya ke Afrika Selatan dan Nigeria dengan transaksi sekitar USD21,5 juta. Lainnya adalah Chili (USD335.000), Mesir (USD175 juta) dan Rusia (USD67,5 juta).
“Tahun ini kita akan coba ke pasar India, Maroko, Kazakstan, Taiwan, Aljazair, Jeddah, dan negara-negara ASEAN yang potensial seperti Vietnam dan Kamboja. Misi dagang dan forum bisnis juga akan diselaraskan dengan pendekatan akses pasar melalui beberapa perundingan perjanjian perdagangan yang akan kita lakukan,” tutur Arlinda.
Mendag menambahkan, untuk memperluas akses pasar, pemerintah akan memanfaatkan berbagai perjanjian kerja sama perdagangan dengan mendorong penyelesaian perundingan, baik bersifat multilateral maupun bilateral. Menurut Mendag, keterlambatan Indonesia dalam membuka pintu untuk melakukan perjanjian perdagangan dengan negara-negara di dunia menjadi salah satu faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa meloncat signifikan dibandingkan negara, seperti Vietnam, Singapura, dan Malaysia.
“Terjadi stagnansi lebih dari 10 tahun, baru di akhir 2017 kita tanda tangani perjanjian perdagangan dengan Chili. Chili ini pasar baru, tapi bisa menjadi hub untuk kita bisa ekspor ke negara aliansinya, seperti Peru, Meksiko, dan Kolombia,” ujarnya.
Baca Juga: Bawa Emas dan Mutiara Seharga Rp100 Juta ke Luar Negeri, Wajib Pakai Surat Keterangan!
Pemerintah mengklaim telah menghitung secara cermat konsekuensi dari setiap perjanjian perdagangan. “Kita tahun ini diharapkan minimum 13 perjanjian perdagangan yang harus diselesaikan. Beberapa yang sedang on going di antaranya dengan Australia, Iran, dan Uni Eropa,” katanya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, perjanjian perdagangan sejauh ini masih cenderung lebih banyak mendorong impor daripada ekspor. Pasalnya, negara-negara lain banyak menerapkan hambatan nontarif yang pada akhirnya menghambat penetrasi ekspor Indonesia.
Menilik prospek ekspor tahun 2018, jika melihat potensi pertumbuhan ekspor komoditas tahun ini memang diprediksi ada perlambatan. Hal tersebut karena ada kenaikan harga komoditas yang hanya marginal pada tahun 2018, berbeda dengan tahun 2017 sebesar 5%. “Di lain pihak, ekspor manufaktur berpotensi lebih tinggi karena China membuka keran impor dengan memangkas tarif bea masuk barang-barang konsumsi,” kata Faisal.
(Inda Susanti/Kunthi Fahmar Sandy)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)