"Keputusan pemerintah tidak menaikan (tarif listrik) saya kira sangat politis dan memberatkan PLN, karena tidak didukung terkait dengan HBA tersebut," tuturnya.
Sebelumnya, Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas Fahmy Radhi mengatakan, pada prinsipnya adalah menerapkan share gain and share pain, atau berbagai keuntungan dan juga beban sangat baik di tengah fluktuasi harga batu bara saat ini.
Untuk itu, dia usul DMO menggunakan batas atas dan batas bawah, baik yang diajukan oleh PLN ataupun Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI). Pasalnya, hal tersebut merupakan solusi terbaik untuk berbagi, ketimbang harus menerapkan perhitungan berdasarkan besarnya biaya (cost) ditambah dengan margin (keuntungan).
“Ini dilakukan sebagai cara mencegah terjadinya proses kebangkrutan PLN, di mana harga batubara yang dijual di luar PLN dan diekspor 75% ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar. Pengendalian harga batubara itu merupakan jalan tengah mengurangi beban PLN dengan sedikit mengurangi pendapatan pengusaha batubara, yang sejak bulan Agustus 2017 telah menikmati keuntungan winfall profit, akibat naiknya harga batubara," tuturnya.
Dalam beberapa tahun terakhir harga batubara di pasar internasional terus melambung. Kondisi ini dirasa tidak mudah bagi PLN yang sebagian besar pembangkitnya menggunakan batubara. Pada 2016, harga batubara tercatat sebesar Rp630.000 per ton, lalu naik menjadi Rp853.000 per ton di tahun berikutnya.
(Fakhri Rezy)