Sebagai konsultan, Sinarmas Land menggandeng konsultan arsitek asal AS, NBBJ, yang berpengalaman merancang sejumlah kantor perusahaan yang berbasis teknologi, seperti Microsoft, Amazon, dan kantor pusat Samsung di Silicon Valley.
Seperti disampaikan Group CEO Sinarmas Land Michael Widjaja kepada wartawan saat kegiatan ground breaking, sejumlah perusahaan raksasa di bidang IT berencana berkantor di “Silicon Valley” Indonesia itu. Perusahaan raksasa dimaksud antara lain Huawei, Apple Research and Development Center, MyRepublic, Sale Stock, Orami, Evhive, Purwadhika, Geeks Farm, dan Plug and Play.
Untuk diketahui, Apple segera membangun delapan pusat research and development (R&D) di kota-kota besar di Asia. Secara rinci akan ada 4 R&D di China, 1 R&D di India, dan 3 R&D di Indonesia. Selain di China, India, dan Indonesia, Apple juga telah membuka atau segera membuka pusat R&D di Israel, Jepang, Prancis, Swedia, dan Inggris. Langkah membuka sejum lah pusat R&D baru itu tak dapat dilepaskan dari kebijakan yang dibuat CEO Apple Tim Cook.
“Produk itu ada di R&D, ada investasi di sana untuk produk dan layanan yang sekarang belum ada atau pengembangan dari yang sudah ada. Jadi, saya tidak ingin bicara tentang perbedaannya, tapi Anda dapat melihat tingkat pertumbuhan dan kesimpulan bahwa di sana ada banyak yang kami lakukan melebihi produk-produk sekarang,“ papar CEO Apple Tim Cook. Sebelumnya, di era pendiri Apple Steve Jobs, perusahaan itu enggan membelanjakan banyak dana untuk R&D.
“Inovasi itu tidak terkait dengan berapa banyak dolar R&D yang Anda miliki,” kata Steve Jobs pada 1998. Namun, kini Apple telah berubah di era Tim Cook.
Untuk China saja, Apple telah berkomitmen investasi riset USD507,1 juta. Skala ini menunjukkan kekhawatiran Apple kehilangan pasar di China. Pasar China memang tidak dapat diabaikan Apple. Pada 2015, Asia saja mencakup 38,3% dari total pendapatan Apple, dengan China memiliki porsi hingga 25,1%. Dari semua produknya, iPhone menjadi penghasil uang sebenarnya, membukukan 66,3% penjualan Apple pada 2015. Memasuki pasar baru di Asia memang tak pernah mudah.
Bagi perusahaan multinasional seperti Apple, tujuan itu me mer lukan banyak kekuatan lokal. “Apa yang diinginkan Apple ialah keterkaitan konstruktif,” papar pengamat Apple, Mark Hibben, di Seeking Alpha yang menjelaskan alasan Apple membuka banyak pusat R&D di berbagai negara. Bagi Apple, riset menjadi persoalan penting.
Pada 2016, Apple mengeluarkan USD10 miliar untuk R&D dan berada pada peringkat sembilan di antara beberapa perusahaan dunia yang mengeluarkan dana riset terbesar di dunia. Saat itu Apple masih berada di bawah perusahaan lain seperti Amazon, Samsung, Alphabet, Intel, dan Microsoft.
Dana riset Apple saat ini sekitar 5% dari pendapatan, naik dari satu dekade sebelumnya. Biasanya para pembelanja riset terbesar mengalokasikan sekitar 8% dan 22% pen dapat annya untuk R&D. “Meski demikian, dalam arah yang ada sekarang, Apple akan menjadi pembelanja R&D terbesar di dunia dalam beberapa tahun terakhir,” ungkap pengamat Apple, Neil Cybart, di Above Avalon. Cybart memperkirakan Apple akan mengucurkan lebih banyak anggaran pada kuartal sekarang dibandingkan kuartal sebelumnya.
Sebelumnya, anggaran Apple untuk R&D pada 2013 sebesar USD4,77 miliar, 2014 sebesar USD6,61 miliar, 2015 sebesar USD8,58 miliar, dan 2016 sebesar USD10,39 miliar. “Dana riset bisa mencapai USD14 miliar pada fiskal 2018, dua kali dari belanja mereka empat tahun lalu,” paparnya.