Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Moratorium Sawit Dinilai Kontradiktif dengan Kebijakan Biodiesel

Koran SINDO , Jurnalis-Selasa, 16 Oktober 2018 |13:30 WIB
Moratorium Sawit Dinilai Kontradiktif dengan Kebijakan Biodiesel
Ilustrasi Kelapa Sawit (Foto: Okezone)
A
A
A

JAKARTA - Kebijakan moratorium atau penghentian sementara penanaman kelapa sawit menjadi disinsentif bagi industri kelapa sawit. Tak hanya itu, kebijakan ini juga sangat kontradiktif dengan kebijakan perluasan penggunaan biodiesel 20% (B20).

Hal itu diungkapkan berbagai kalangan menyikapi keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang di teken pada 19 September 2018 lalu. Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Econo mics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, seharusnya pemerintah konsisten dengan kebijakan yang dibuat. Ini mengingat pada 1 September 2018 kebijakan B20 resmi diberlakukan di Tanah Air. Namun, selang hampir tiga pekan kemudian, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tak sinkron dengan kebijakan sebelumnya. Sekarang, kata Bhima, pasokan biodiesel masih bermasalah karena ketidakpastian produksi sawit.

Baca Juga:  Kampanye Hitam Rugikan Industri Sawit Indonesia

“Kalau mau fokus kepeningkatan produksi sawit termasuk biodisel, harusnya sawit itu diberi banyak insentif bukan kemudian dihambat. (Ini) Sangat kontradiksi,” kata Bhima di Jakarta, belum lama ini. Keluarnya Inpres No 8/2018 ini, kata Bhima, juga jadi disinsentif bagi industri sawit nasional. Kebijakan ini sangat mengganggu gerak bisnis kelapa sawit, bukan hanya korporasi, tapi juga pekebun rakyat. “Sebab ada jutaan rakyat yang menggantungkan hidupnya ke sawit,” katanya. Bhima memaklumi inpres tersebut bertujuan agar perusahaan sawit dan pekebun rakyat melakukan intensifikasi lahan yang ada.

Ini karena produktivitas per hektare (ha) sawit Indonesia masih rendah, yakni hanya 2 ton per ha, sementara Malaysia sudah 10 ton per ha. Namun, intensifikasi lahan untuk menaikkan produktivitas membutuhkan waktu lama, riset yang mahal, termasuk pencarian bibit unggul, pupuk yang pas, dan lainnya. “Di titik ini pemerintah harusnya berimbang melihat persoalan secara komprehensif,” katanya. Bhima menjelaskan, investasi paling besar di sektor pertanian ada di perkebunan kelapa sawit. Saat ini Indonesia membutuhkan dolar untuk memperkuat devisa.

 Melihat Lebih Dekat Buruh Kerja Memanen Kelapa Sawit di Desa Sukasirna Sukabumi

Di sisi lain, ekspor sawit sebagai komoditas primer penting juga harus didukung dengan kemudahan kebijakan sehingga neraca dagang bisa berbalik menjadi surplus. Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Ins titute (Paspi) Tungkot Sipayung mengatakan, Inpres No 8/2018 merupakan inpres ketiga yang dikeluarkan pemerintah. Dua inpres sebelumnya terbukti gagal, tapi ironisnya, pemerintah membuat inpres yang sama. “Inpres yang terbukti gagal kok tetap dilanjutkan,” kata Tungkot. Selama ini pemerintah mengatakan bahwa sawit merupakan penyumbang devisa, sebagai bahan baku biodiesel, penopang dan penyelamat ekonomi nasional, serta sebagai komoditas strategis nasional. Namun, ternyata tiba-tiba sawit dimoratorium.

Pemerintah tidak konsisten dengan apa yang dikatakan dan apa yang di per buat. “Saya tahu, moratorium sawit ini datangnya dari desakan-desakan LSM. Kasihan juga Presiden, menterinya yang gagal kok Presiden yang harus bertanggung jawab,” katanya. Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa mengatakan kebijakan ini sangat berlebihan. Menurutnya, kalau pemerintah ingin mengevaluasi kebun sawit yang ada di kawasan hutan tidak perlu dilakukan moratorium. “Sebab itu pasti mengganggu investasi dan perekonomian. Pemerintah ini kok tidak belajar dari penerapan moratorium sebelumnya,” katanya.

Baca Juga: Presiden Jokowi: Jangan Tukar Kawasan Hutan dengan Kebun Sawit

Menurut Yanto, kalau pemerintah ingin mengevaluasi kebun sawit di kawasan hutan tidak perlu ada moratorium. “Tinggal dilepaskan saja kawasan hutan itu atau cabuti saja sawit yang dinilai ada di kawasan hutan itu. Pemerintah kan punya wewenang. Jadi tidak perlulah dimoratorium,” katanya. Dia mengusulkan apabila ada kebun sawit berada di kawasan hutan, maka tunggu saja sampai dengan hak guna usaha (HGU) habis. Setelah HGU selesai bisa dihutankan kembali. Atau bisa juga dengan kebijakan pelepasan kawasan hutan mengingat rasio hutan masih lebih banyak.

“Sehingga kebun yang ada di kawasan hutan tersebut tetap di lanjutkan karena status kawasan hutannya telah diubah,” katanya.

Melihat Lebih Dekat Buruh Kerja Memanen Kelapa Sawit di Desa Sukasirna Sukabumi 

(Sudarsono)

(Kurniasih Miftakhul Jannah)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement