Share

Aturan Perpanjangan Kontrak Tambang Batu Bara Diubah

Koran SINDO, Jurnalis · Rabu 14 November 2018 11:02 WIB
https: img.okezone.com content 2018 11 14 320 1977589 aturan-perpanjangan-kontrak-tambang-batu-bara-diubah-6v5u72B2Rq.jpg Ilustrasi: Foto Okezone

JAKARTA – Pemerintah akan mengubah regulasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/ 2010 terkait perpanjangan kontrak perusahaan batu bara pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B).

Melalui revisi aturan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara tersebut, pemegang PKP2B dapat mengajukan perpanjangan kontrak lima tahun atau selambat-lambatnya satu tahun sebelum kontrak berakhir.

”Sebelumnya kan dua tahun, ini menjadi lima tahun. Itu untuk member ikan kepastian investasi. Seperti misalnya Freeport untuk kepastian membangun fasilitas smelter sehingga sudah bisa ancang-ancang sebelumnya,” ujar Direktur Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono di Jakarta.

 Baca Juga: Menteri Jonan: Produksi Batu Bara 100 Juta Ton Bisa Tutupi Defisit Neraca Dagang

Menurut dia, seluruh pemegang PKP2B nanti tidak lagi berlandaskan kontrak, tapi wajib berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Untuk saat ini revisi beleid tersebut masih tahap harmonisasi dengan pihak lembaga/kementerian terkait.

”Kita harapkan secepatnya bisa selesai,” kata dia.

Bambang mengatakan, ke depan era pertambangan harus berlandaskan Izin Usaha Pertambangan Khusus. Sebab itu, bagi perusahaan batu bara yang masih berlandaskan PKP2B harus berubah menjadi IUPK.

”Untuk saat ini yang jatuh tempo itu baru Tanito, IUPK dari PKP2B baru mau dibuat dasar hukumnya sekarang. Tanito lebih dari 30 tahun,” katanya.

 Baca Juga: Pengusaha Batu Bara Bisa Lapor BI Jika Keberatan Penuhi Aturan L/C

Dia menjelaskan, meski pengusaha mengajukan permohonan perpanjangan, pemerintah tidak akan memberikan perpanjangan.

Pemerintah, kata dia, tetap akan mengevaluasi terkait kewajiban perusahaan tambang. Adapun kewajiban yang dimaksud adalah melakukan reklamasi lahan bekas tambang, kemudian kewajiban pemenuhan Domestic Market Obligation (DMO) dan hilirisasi batu bara.

Sebagaimana diketahui, ada 68 perusahaan berstatus PKP2B, sedangkan sebanyak tujuh perusahaan besar PKP2B Generasi I yang segera habis kontraknya, yaitu PT Tanito Harum (2019), PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Adaro Energy Tbk (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), dan PT Berau Coal (2025).

Baca Juga: Lebih Ramah Lingkungan, Energi Tanpa Batu Bara Diperkuat

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyambut positif revisi aturan tersebut. Pasalnya, industri tambang membutuhkan kepastian usaha jangka panjang.

”Lebih awal lebih bagus karena perusahaan bisa mencari pendanaan lebih cepat. Terutama untuk jaminan perbankan,” kata dia .

Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira mengatakan, selain memberikan kepastian usaha secara jangka panjang, juga dapat memperlancar operasional kegiatan usaha.

”Tentu kami akan menyesuaikan aturan yang berlaku sebagai bentuk ketaatan kami terhadap aturan pemerintah,” ujar dia.

Follow Berita Okezone di Google News

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM) Fahmy Radhi beranggapan perubahan aturan itu dapat memberikan kepastian usaha bagi pemegang PKP2B untuk pengambilan keputusan usaha. Mengingat investasi di bidang minerba membutuhkan dana dalam jumlah besar dan return investment dalam jangka panjang.

”Maka perpanjangan waktu pengajuan kontrak sangat realistis untuk menguntungkan investor sehingga menjadikan iklim investasi di Indonesia semakin kondusif,” kata dia.

Tak hanya itu, perubahan aturan tersebut juga mengatur penerimaan negara dari pajak dan royalti. Sebelumnya pemegang PKP2B harus membayar pajak PPh Badan sebesar 45% akan diturunkan menjadi sebesar 25%.

Penurunan PPh Badan diikuti dengan kenaikan Dana Hasil Batu Bara (DHPB) dari 13,5% menjadi 15% dan tambahan pajak 10% dari laba bersih. Fahmy menilai, perubahan tarif pajak itu relatif lebih adil diterapkan bagi pemegang PKP2B.

Perubahan itu juga tidak menurunkan penerimaan pajak lantaran ada kenaikan tarif DHPB dan penambahan pajak terhadap laba bersih sehingga tidak hanya memberikan kepastian usaha bagi investor dan pengenaan tarif pajak yang lebih adil, tetapi juga meningkatkan penerimaan negara dari pajak sekaligus menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.

”Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa revisi PP ini cenderung sebagai investment friendly,” kata dia. (Nanang Wijayanto)

1
2
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini