Lain lagi dengan Diemas, 32. Dia meniatkan ikut flash sale dengan tujuan mendapatkan barang dengan diskon besar lalu menjualnya kembali sehingga mendapat untung.
Di hari biasa, laki-laki asal Pejaten, Jakarta Selatan ini mengikuti flash sale saat makan siang dan makan malam tiba, tapi saat Ramadan kali ini dia juga melakukannya saat sahur karena banyak e-commerce berlomba-lomba menyelenggarakan flash sale.
Biasanya Diemas ikutan flash sale mengincar barang-barang elektronik seperti handphone, laptop, dan peralatan rumah tangga seperti meja, kursi, dan lain-lain.
Dalam sehari ayah satu anak ini merogoh kocek sampai Rp2 juta. Barang-barang yang didapat dari flash sale dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi. Dia pun berbagi tips mendapatkan barang di flash sale salah satunya koneksi internet yang lancar.
”Namanya juga flash sale (penjualan cepat), pasti membutuhkan internet yang cepat juga kan. Maka, sebaiknya sediakan dua koneksi berbeda yaitu WiFi dan seluler,” sarannya.
Baca Juga: Ini Cara Ritel Hadapi Persaingan E-Commerce
Pemilihan barang yang diincar harus tepat serta metode pembayaran yang tepat juga akan memperbesar kemungkinan mendapatkan barang impian. ”Sebisa mungkin, gunakan pembayaran instan agar menghemat waktu sepersekian detik,” tandasnya.
Kuncinya Pengendalian Diri
Sementara itu, tidak sebatas flash sale beberapa e-commerce juga menghadirkan gimmick tertentu. Lazada misalnya menawarkan fitur menarik dalam Lazada One Stop Shoppertainment yaitu LazGame, di mana pelanggan bisa bermain dan mendapatkan voucher belanja sambil menunggu buka puasa.
Pengamat budaya digital Firman Kurniawan mengatakan, manusia adalah makhluk yang suka memainkan permainan (homo ludens). Hal ini dikreasikan oleh pengelola e-commerce melalui permainan-permainan yang bisa membuat pelanggan betah berlama-lama.
”Yang namanya konsumtif itu sendiri sudah tidak rasional, kemudian agar orang lebih konsumtif dipacu dengan bermain- main tadi,” ujarnya. Firman menambahkan, pengendalian diri adalah kunci agar konsumen kembali kepada rasionalitas dan tidak terjebak kepada kebiasaan konsumsi yang berlebihan atau impulsif.
”Bagaimanapun di balik semua ini sebetulnya dipacu oleh pemasar agar konsumen terus belanja, jadi ya kita harus tahu kalau sudah masuk ke lubang jebakan. Intinya mengembalikan ke rasionalitas, dan itu perannya 75% ada pada diri sendiri. Kalau orang lain, hanya 25%,” pungkasnya.
(Hafid Fuad/Kunthi F Sandy/Nanang W/Oktiani Endarwati)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)