JAKARTA – Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum HAM melalui Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa telah menutup ratusan toko online atau portal e-commerce bermasalah.
Portal tersebut berdampak merugikan pemilik merek dagang hingga pengguna akhir atau konsumen. Direktur Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa dari Direktorat Jenderal HKI Kemenkumham, Brigjen Pol Reinhard Silitonga mengatakan, pihaknya sudah tutup ratusan laman bermasalah. Mereka mengundang YLKI dan kementerian terkait seperti Kominfo untuk menggelar perkara dan diputuskan ditutup. Dia menjelaskan, rata-rata ratusan portal e-commerce yang ditutup adalah portal tidak berbayar, seperti e-commerce berbasis wordpress dan blog. Dalam praktiknya, pemilik blog menayangkan iklan produk dengan harga murah dan hanya mencantumkan nomor kontak saja, tanpa menyertakan alamat.
Baca Juga: E-Commerce Berburu Konsumen dengan Perang Promo Ramadan
”Saat dihubungi, harganya justru lebih tinggi berlipat-lipat dari yang tertera di situs. Ini tentu merugikan konsumen juga pemilik produk yang dipalsukan. Maka itu, kita tutup ratusan situs tersebut,” kata Reinhard di sela buka puasa bersama Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) di Jakarta, kemarin. Dalam penyelesaian laporan yang masuk, pihaknya telah membentuk tim verifikasi penutupan konten iklan di website. Di sisi lain, pelaporan masyarakat juga mengeluhkan lamanya proses pencabutan konten iklan yang melanggar tersebut. Padahal kewenangannya ada pada asosiasi e-commerce, seperti idEA.
”Jadi, kami teruskan ke idEA,” katanya. Dia menambahkan, secara umum sepanjang 2018 ada 40 laporan pelanggaran merek yang masuk ke Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa Merek. ”Sebanyak 50% sudah kita selesaikan. Kalau periode Januari-Mei 2019 ini ada sekitar 20 laporan masuk. Bulan Mei saja ada 17 kasus,” ujarnya. Sementara itu, Ketua Kebijakan Umum idEA Even Alex Chandra mengatakan, ada ratusan juta konten iklan di e-commerce yang bermasalah. Pihaknya merasa kesulitan juga. Karena sejatinya di awal itu sudah ada ketentuan bahwa tidak boleh menjual barang palsu yang melanggar merek dan HKI. ”Tetapi tetap saja ada yang upload iklan barang palsu. Bisa mencapai ratusan juta konten iklan,” kata Alex pada kesempatan yang sama.

Soal lambatnya penanganan atau take down konten iklan yang bermasalah, Alex menjelaskan, biasanya ada pada link iklan yang dikirim pelapor tidak valid. ”Proses take down itu 14 hari kerja. Ada yang sudah lengkap data-data resminya, lalu laporan pelanggaran via link iklan tidak bisa diklik,” kata Alex. Ketua MIAP Justisiari P Kusumah mengatakan, ada sejumlah sebab beredarnya barang palsu di situs e-commerce. Pertama, dengan e-commerce, akses pedagang dan pembeli tidak tersekat. ”Kalau dulu supplier besar saja yang bisa, sekarang dengan platforme-commerce, pedagang bisa langsung jual barang ke end user,” katanya.
Kedua, identitas tertutup juga membuat pelaku dagang curang dengan leluasa menjual produk palsu. Ketiga, proses pembayaran secara online menjadi penyebab. Karena selama bisa digunakan kartu kredit atau fasilitas pembayaran online, pembeli bisa langsung bayar. ”Semua isu ini menarik dan serius. Karena permasalahan ini bukan hanya pemilik hak, juga platform e-commerce, aparat kepolisian, Bea Cukai. Jadi butuh upaya konstruktif kolabo rasi untuk menangani masalah ini. Memang ada kesepakatan nonformal untuk menanggulangi masalah ini, tetapi belum cukup. Butuh kesepakatan formal. Karena unsur perlindungan konsumen dan produsen sangat penting,” kata Justisiari.