JAKARTA - Peringkat daya saing Indonesia atau World Competitiveness Ranking mengalami kenaikan menjadi posisi 32 dari 63 negara pada 2019. Setelah tahun sebelumnya berada di posisi 43.
Peringkat itu berdasarkan penilaian International Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Ranking 2019 yang diterbitkan pada 28 Mei 2019 lalu.
Dengan melompat 11 peringkat, peringkat daya saing Indonesia saat ini berada di atas negara-negara yang memiliki tingkat pendapatan serupa (peers) seperti India, Filipina, Turki, Afrika Selatan, dan Brazil.
Baca Juga: Daftar 50 Negara dengan Daya Saing Paling Kuat di Dunia, Indonesia?
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, faktor yang berkontribusi dalam kemajuan daya saing Indonesia adalah perbaikan efisiensi pemerintah dan bisnis serta pembangunan infrastruktur.
"Peringkat tahun lalu memang tidak terlalu bagus sebetulnya, tetapi tahun ini rankingnya menjadi 32, itu berarti ranking Indonesia melompat 11 peringkat dan merupakan yang tertinggi kenaikannya dari 63 negara. Ini adalah pencapaian yang baik," jelasnya dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (31/5/2019).
Darmin menjelaskan, IMD World Competitiveness Center menilai 63 negara dengan lebih dari 230 indikator yang dikelompokkan ke dalam 4 pilar yaitu pertama kinerja ekonomi, termasuk perdagangan dan investasi internasional. Kedua efisiensi pemerintah, termasuk kedisiplinan pemerintah dalam anggaran, kepatuhan hukum, dan peningkatan inklusivitas institusi.
Baca Juga: Indeks Daya Saing Indonesia Kalah dari Singapura, Menko Darmin: Itu Negara Kecil
Ketiga efisiensi bisnis, termasuk produktivitas dan efisiensi sektor swasta dan kemudahan akses finansial. Keempat infrastruktur, termasuk infrastruktur sains, kesehatan, dan lingkungan serta pendidikan.
“Perbaikan daya saing Indonesia didukung oleh kenaikan peringkat yang terjadi pada ke-4 faktor tersebut,” katanya,
Berdasarkan penilaian, Indonesia memiliki keunggulan dalam hal ekonomi domestik yakni berada di peringkat ke-7, kebijakan perpajakan berada di peringkat ke-4, pasar tenaga kerja berada di peringkat 3, serta tingkah laku dan nilai berada di peringkat 14.
Namun, Indonesia masih harus terus melakukan perbaikan pada aspek perdagangan internasional yang berada di peringkat 59, kesehatan dan lingkungan berada di peringkat 58, pendidikan berada di peringkat 52, dan infrastruktur teknologi berada di peringkat 49.
Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti menyatakan, beberapa kriteria yang berkontribusi pada kenaikan peringkat antara lain aplikasi paten, korupsi, biaya listrik industri, keadilan, serta hukum.
"Hal tersebut menunjukkan Indonesia mengalami kemajuan yang baik pada berbagai aspek seperti ekonomi, pendidikan dan pengetahuan, serta hukum," kata dia.
Dia menyatakan, faktor yang dianggap paling menarik dari perekonomian Indonesia adalah ekonomi yang dinamis, perilaku terbuka dan positif masyarakat, serta kebijakan yang stabil dan terprediksi. Perbaikan peringkat daya saing Indonesia menunjukkan hasil positif dari berbagai reformasi struktural dan ekonomi yang secara konsisten terus dilakukan oleh pemerintah.
"Ke depan pemerintah akan terus melanjutkan komitmen reformasi struktural dalam rangka meningkatkan produktivitas dan daya saing. Infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, industrialisasi dan kerangka institusi menjadi beberapa aspek menjadi prioritas pembangunan oleh pemerintah," jelas dia.
Sekedar diketahui, dalam laporan tersebut juga terjadi perubahan susunan lima negara berdaya saing tertinggi. Singapura yang pada tahun 2018 berada pada peringkat ke-3 menjadi peringkat ke-1 di tahun 2019, menggeser Amerika Serikat (AS). Sedangkan Hong Kong tetap berada di posisi kedua, diikuti AS pada peringkat ke-3. Uni Emirat Arab untuk pertama kalinya masuk dalam kelompok 5 besar.
Daya saing Jepang juga terpantau turun 5 peringkat dari posisi ke-25 pada tahun lalu menjadi posisi ke-30 pada 2019. Penurunan itu disebabkan merosotnya kondisi ekonomi, kondisi utang pemerintah, dan melemahnya iklim usaha.
(Feby Novalius)