JAKARTA - PT Tiga Pilah Sejahtera Food Tbk (AISA) dikabarkan tengah dalam masalah keuangan. Namun produsen taro ini membantah bahwa akan bangkrut.
Direktur Utama PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) Hengky Koestanto membantah kabar yang menyatakan bahwa perusahaan tengah berada dalam keadaan bangkrut.
Dirinya memohon pengertian stakeholders, lantaran perusahaan masih dihadapkan pada beberapa kendala, termasuk transisi dari manajemen lama ke baru.
Berikut fakta-fakta terkait kondisi produsen Taro, yang dirangkum Okezone, Senin (17/6/2019):
1. Kewajiban Pembayaran Utang
PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA), menginginkan kreditor dapat menerima proposal perdamaian yang ditawarkan perseroan untuk proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) untuk anak usaha perseroan PT Putra Taro Paloma (PTP) dan PT Balaraja Bisco Paloma (BBP).
"Prosesnya masih sedang rapat PKPU, Minggu depan, hari Senin (27/5/2019). Kami rapat dengan kreditor apakah akan menyetujui proposal perdamaian atau akan ada perpanjangan pkpu lagi," ujar Corporate Secretary TPS Food, Michael H Hadylala kepada Okezone.
2. Kreditor UOB
Di mana dari kreditor konkruen mayoritas tidak keberatan dengan proposal AISA. Namun AISA masih menunggu dari kreditor separatis yaitu Bank UOB apakah mendukungnya juga.
"Harapannya jika Bank UOB mendukung proposal perdamaian dalam PKPU ini, kans untuk keluar dari PKPU akan lebih besar," tutur dia.
Dua anak usaha perseroan ini yang memproduksi makanan ringan atau disebut snack merek Taro. Adapun kasus PKPU anak usaha perseroan ini terdaftar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor perkara 117/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst. Pemohon kasus PKPU tersebut PT Bank UOB Indonesia.
3. BEI Lihat Perkembangan Masalah Produsen Taro
PT Bursa Efek Indonesia (BEI) masih menunggu arah pengembangan bisnis PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA), usai adanya hasil keputusan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Pasalnya, hasil sidang PKPU menyatakan hakim mengesahkan persetujuan antara debitur dan kreditur untuk mengakhiri kepailitan atau homologasi. terhadap dua anak usaha TPS Food yang memproduksi Taro, yakni PT Putra Taro Paloma (PTP) dan PT Balaraja Bisco Paloma (BBP).
Direktur Penilaian Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna menyatakan, setelah lini bisnis AISA yang bergerak pada produksi beras telah resmi pailit, maka diharapkan perusahaan dapat mengembangkan anak usaha lainnya yang bergerak di bidang produksi makanan ringan untuk menjadi motor penggerak.
"Nah sekarang yang ada itu food-nya sendiri, justru sebetulnya arahnya kita liat yang ini, bagaimana dia mengembangkan. Ada snack-nya terus dan ada yang lainnya ke depan ini dikembangkan seperti apa," ujarnya di Gedung BEI.
4. Saran BEI untuk AISA
Otoritas bursa akan terus memonitor penyelesaian permasalahan utang AISA, usai hasil dari PKPU. Sehingga diharapkan perseroan bisa melakukan pengembangan bisnisnya.
"Bagaimana nanti setelah selesai proses secara legal semua subsidiaris di bawah anak-anak usahanya itu bisa dikonsolidasi sehingga nanti diharapkan kegiatan operasinya itu bisa lebih optimal. Jadi ke depan yang ingin kita lihat adalah one legal atau permasalahan yang ada itu sudah arahnya ke penyelesaian," paparnya.
Menurutnya, setelah proses penyelesaian kasus perusahaan terkait dengan PKPU, AISA dapat mengembangkan lini bisnis makanannya. Pasalnya, lini bisnis ini dapat menghasilkan pemasukan yang dapat menjadi tulang punggung perusahaan.
"Jadi ke depan kita akan fokus pengembangannya ke mana, selain yang proses di PKPU, kita ingin lihat penyelesaiannya seperti apa. Dan setelah itu tentunya managemen yang baru akan mengembangkan lini yang memang backbone-nya arahnya ke sana," tutur dia.
5. Update Perkembangan Masalah
Setelah sempat bernapas lega dengan didapatnya persetujuan kreditor dalam rapat kreditor pada Kamis 23 Mei 2019 silam, nasib PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. (TPSF) belum bisa dipastikan mulus mengakhiri PKPU ini.
Perusahaan dengan kode listing AISA ini masih harus berjibaku untuk mendapatkan persetujuan pengurus terkait dengan biaya pengurusan dan honor pengurus.
Direktur Utama TPSF Hengky Koestanto menyatakan bahwa pihaknya masih mencoba mendapat keringanan dari pengurus mengenai biaya yang harus ditanggung olehnya.
"Pembicaraan awal dengan Pak Anthony Hutapea dan Pak Rizky Dwinanto selaku pengurus memang meminta sekitar hampir 60M, atau kurang lebih 2.5% dari total utang. Namun kalau segitu kita tidak sanggup untuk membayar, ganjalannya sampai sekarang masih di situ. Dengan kondisi finansial TPSF saat ini, kami seperti sudah jatuh tertimpa tangga," kata Hengky.
6. Terganjal Fee Pengurus
etua Forum Investor Ritel AISA atau lebih dikenal dengan FORSA Deni Alfianto Amris mengungkapkan keheranannya soal fee pengurus itu.
"Kalau minta 2.5% namanya itu pemerasan. 1% itu lebih masuk akal. Selama ini juga untuk PKPU lain 0.5%-1% sudah konsensus. Ini namanya pengurus mau menembak di atas kuda,”
Lebih lanjut Deni menambahkan, “Logikanya saja, nilai buku saat ini memang sekitar Rp3 triliun, namun dengan adanya laporan investigasi EY yang lalu itu berarti penyusutan nilai buku menjadi sekitar Rp300 miliar. Artinya, kalau yang diminta pengurus itu 2.5% dari utang sama saja dengan pengurus minta 20% saham AISA. Hakim harus memikirkan kelangsungan TPSF untuk karyawan dan para pemegang saham yg berinvestasi menggunakan dana tabungan mereka," ujarnya.
(Feby Novalius)