Dia menyebut pada 2019 lalu tercatat Indonesia hanya mampu berkontribusi memproduksi kakao sebesar 45,6 persen atau 196.787 ton untuk diolah menjadi kebutuhan industri. Padahal, bila menilik karakteristik geografi Tanah Air, jumlah produksinya bisa lebih banyak.
"Akhirnya, impor biji kakao menjadi 234 ribu ton atau 54,4%. Padahal industri pengolahan kakao hanya membutuhkan impor biji kakao 30%. Karakteristik Indonesia mempunyai keuntungan tersendiri, baik dari segi rasa, aroma, dan kesehatan," katanya.
Menurut dia, karakteristik biji kakao asal Indonesia yang memiliki titik leleh tinggi dan kaya kandungan lemak, industri pengolahan kakao dapat menghasilkan produk berkualitas tinggi.
“Untuk itu, perlu adanya peningkatan kualitas dan kuantitas bahan baku secara intensif, antara lain lewat pendampingan dari para ahli budidaya kakao,” kata dia.
(Fakhri Rezy)