“Selain risiko yang diperoleh dari memiliki dan/atau memperjualbelikan mata uang virtual yang memiliki ketidakjelasan underlying asset yang mendasari nilainya, transaksi mata uang virtual yang spekulatif dapat menimbulkan risiko pengggelembungan nilai (bubble) yang tidak hanya merugikan masyarakat namun juga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan,” jelas Josua.
Lanjut dia, pemanfaatan CBDC saat ini masih berupa tahap persiapan oleh Bank Indonesia (BI), di mana setelah adanya kesiapan infrastruktur, BI sudah siap mengimplementasi secara luas. Hingga saat ini, CBDC baru diterapkan secara terbatas di Tiongkok dengan memberikan 200 Yuan kepada 50.000 penduduk untuk memantau dampaknya terhadap perekonomian dan pasar keuangan.
Di sisi lain, menurut Josua ke depannya dibutuhkan infrastruktur yang lebih merata, terutama infrastruktur jaringan di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sifat mata uang digital yang membutuhkan akses internet.
“Tanpa hal tersebut, dampak pemanfaatan dari mata uang digital akan sangat terbatas pada perekonomian. Salah satu potensi keunggulan yang dapat diperoleh penerbitan CBDC adalah lebih mudahnya memantau pergerakan dan volatilitas money supply, sehingga sangat mungkin kebijakan moneter dapat lebih mudah ditransmisikan ke perekonomian,” ucap dia.
(rzy)(Rani Hardjanti)