JAKARTA - Pengembang rumah bersubsidi diingatkan soal kualitas rumah yang dibangun. Pasalnya, masih ada pengembang hunian bersubsidi yang tidak mematuhi kualitas bangunan dengan tidak mengantongi sertifikat laik fungsi (SLF).
"Padahal sertifikat ini penting sebagai dasar pelaksanaan akad kredit," kata Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Eko D Heripoerwanto, dikutip dari Antara, Selasa (15/6/2021).
Beberapa hal tidak diterbitkan SLF ini terkait dengan sejumlah temuan seperti ketersediaan air minum, jaringan listrik dan utilitas di perumahan yang dibangun para pengembang, bahkan ada temuan rumah yang belum dialiri listrik serta jauh dari angkutan umum.
Baca Juga:Â Guyur Pasar Properti, BSI Dapat Kuota FLPP 14.100 Unit
Terkait temuan itu, Eko mengatakan pengembang harus mematuhi kebijakan pemerintah daerah untuk memastikan hunian subsidi yang dibangunnya memenuhi standar kelayakan.
Eko menyebutkan bahwa hasil temuan BPK, BPKP, dan Itjen Kementerian PUPR ditemukan masih adanya rumah KPR bersubsidi yang tidak sesuai tata ruang/perizinan.
Temuan lain, terkait bank pelaksana seperti keterlambatan penyaluran subsidi bantuan uang muka, keterlambatan penyetoran dana bergulir, tarif dana fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), serta adanya dua unit rumah KPR subsidi digabung menjadi satu rumah.
Baca Juga:Â Bank Diminta Percepat Penyaluran FLPP, Kalau Masih Sedikit Bisa Dialihkan
“Terkait dengan masih adanya rumah bersubsidi yang diperjualbelikan atau disewakan sebelum lima tahun, perbankan semestinya juga bisa lebih menyosialisasikan tentang syarat huni rumah bersubsidi kepada calon debitur MBR,” tegas Eko.
Pemerintah sendiri menyediakan fasilitas subsidi dalam tahun anggaran 2021 meliputi FLPP sebanyak 157.500 unit senilai Rp16,66 triliun, subsidi bantuan uang muka (SBUM) senilai Rp630 miliar, Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) 39.996 unit senilai Rp1,6 triliun, dan Tapera dari dana masyarakat untuk 25.380 unit senilai Rp2,8 triliun