JAKARTA - Ada tiga opsi restrukturisasi utang PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk senilai USD9,8 miliar atau setara Rp139 triliun.
Ketiga opsi restrukturisasi utang adalah out of court dan in court. Dalam mekanismenya, restrukturisasi out of court mendorong manajemen Garuda Indonesia memberikan penawaran yang berbeda kepada setiap lessor. Hal itu seiring dengan jumlah lessor emiten yang mencapai 32 perusahaan.
Poin rekomendasi lain adalah tidak ada jangka waktu pelunasan utang yang harus dipenuhi Garuda, hingga ketiadaan biaya pengadilan.
Baca Juga: Pangkas Utang Garuda dari Rp139 Triliun Jadi Rp52,3 Triliun, Caranya?
Di lain sisi, manajemen Garuda Indonesia perlu mengajukan moratorium kepada kreditur, lalu melakukan negosiasi dengan masing-masing kreditur, hingga perlakuan tidak setara (unequal treatment) antara kreditur potensial. Namun, poin terakhir ini berisiko pada tuntutan hukum di kemudian hari.
Untuk mekanisme restrukturisasi in court, di mana, Garuda mampu mengikat seluruh krediturnya, lalu memberikan kemampuan Garuda untuk mengakhiri atau melakukan negosiasi ulang perjanjian sewa yang memberatkan, kemudian adanya rencana perdamaian yang tidak perlu disetujui oleh seluruh kreditur.
Opsi kedua ini membutuhkan biaya cukup besar, hingga potensi berisiko pailit. Meski begitu, pemegang saham cenderung lebih memilih opsi in court
"Kami cenderung mendorong ini menjadi restrukturisasi in court. Ini kita sedang diskusikan, apakah opsi utamanya menjadi restrukturisasi in court," ujar Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, Rabu (10/11/2021).