JAKARTA - Harga minyak goreng kemasan setelah dilepas ke pasar menjadi ironi bagi masyarkat. Pasalnya, stok tiba-tiba banyak dengan harga yang tidak kira-kira.
Pengamat Politik dari Universitas Nurdin Hamzah Jambi, Pahrudin HM melihat ada kecenderungan para politikus di Senayan DPR membawa persoalan minyak goreng ke arah politik karena komoditas tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak khususnya kaum emak-emak yang biasa memasak di dapur.
"Kalau kita lihat dari perspektif politik, pemerintah gagal menjalankan tugasnya sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan kebijakan publik. Langkah prediktif (forecasting) pemerintah sebagai bagian penting kebijakan publik gagal dijalankan," ujar Pahrudin, Rabu (23/3/2022).
Baca Juga: Curhat Pengusaha Ritel, Dituduh Timbun Minyak Goreng karena Stok Langka
Dia mengaku heran bagaimana mungkin Mendag tidak memprediksi efek perang Rusia-Ukraina (dua negara produsen utama minyak goreng dari biji bunga matahari) terhadap minyak goreng sawit.
"Kebijakan satu harga justru makin membuat oknum pengusaha lebih pilih ekspor CPO. Parpol (terutama koalisi pemerintah) juga gagal menjalankan fungsinya politiknya. Daya forecasting (prediktifnya) terhadap soal migor hilang, tetapi daya pencitraannya menguat," kata Pahrudin.
Pahrudin menilai seakan-akan apa yang dilakukan pemerintah (Mendag) terpisah dan berdiri sendiri.
Baca Juga: 5 Alternatif Pengganti Minyak Goreng dan Cara Membuatnya, Emak-Emak Wajib Baca
"Padahal, seharusnya partai politik yang punya wakil di legislatif dapat menjalankan fungsi kontrolnya terhadap kebijakan pemerintah. Bukan malah justru gunakan isu ini sebagai bagian dari pencitraan politik, bahkan cenderung salahkan publik," tutur Pahrudin.
Ia melihat partai-partai yang ada di dalam koalisi pemerintah cenderung lepas tangan dari kebijakan Mendag. Sebagai bagian dari koalisi pemerintah, ia menilai seharusnya ada daya forecastingnya dilakukan sejak dini.