JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu memberikan kompensasi kepada PT Pertamina (Persero). Hal ini untuk mengurangi beban dari selisih harga BBM termasuk jenis solar.
Kompensasi dinilai tidak hanya penting untuk kesehatan keuangan namun juga bagi kelangsungan penyediaan BBM dalam negeri.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan jika subsidi basisnya Undang-Undang APBN, maka pemberian kompensasi juga perlu berbasis regulasi.
"Seharusnya ada payung hukumnya," kata Komaidi, Rabu (30/3/2022).
Pertamina saat ini menanggung selisih harga jual solar bersubsidi sebesar Rp7.800 per liter karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mengalokasikan subsidi Rp500 per liter. Harga jual solar bersubsidi dijual Rp5.150 per liter, jauh di bawah harga solar nonsubsidi yang dijual Pertamina, Dexlite sebesar Rp12.950 per liter.
Menurut Komaidi, saat ini yang paling utama adalah masalah kelangkaan solar harus tertangani dulu. Untuk itu, dia menyarankan agar kuota solar bersubsidi harus ditambah.
“Risiko penambahan kuota sudah jelas, yaitu perlu tambahan subsidi,” tegas dia.
Dia menilai kelangkaan solar bersubsidi yang berlarut-larut tidak baik untuk stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat. Menurut dia, efeknya bisa tidak terduga dan tidak terkendali.
“Dampaknya bisa meluas dan tidak terkendali. Saya kira penting ini menjadi perhatian,” tegasnya.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, sebelumnya meminta kepada pemerintah segera melakukan langkah strategis untuk mengatur barang subsidi. Hal ini merupakan persoalan penting karena harga BBM yang dijual Pertamina masih jauh di bawah harga keekonomian.