JAKARTA - Konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi menunjukkan tren peningkatan, padahal produksi minyak nasional tidak ikut naik sehingga menyebabkan beban subsidi APBN untuk biaya impor energi terus bertambah.
"Subsidi akan terus naik. Kalau tidak dikendalikan, bisa lebih parah lagi,” ujar Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Ekonomi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Maxensius Tri Sambodo dalam diskusi dengan media secara virtual yang dikutip di Jakarta, Sabtu (16/5/2022).
Max mengungkapkan subsidi energi, termasuk listrik, estimasi angkanya tinggi sekali. Walaupun benefitnya bisa meredam inflasi, kemiskinan, pengangguran. Namun ini tidak hanya dialami Indonesia yang mencoba meredam dampak global tingginya harga minyak.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperlihatkan, realisasi subsidi energi pada 2021 mencapai Rp131,5 triliun, naik 19 persen dari target 2021 Rp110,5 triliun. Pemerintah menyebutkan kenaikan subsidi energi disebabkan pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat dalam pemulihan ekonomi.
Lonjakan signifikan berasal dari subsidi BBM dan LPG yakni Rp83,7 triliun dari target awal Rp 56,9 triliun, sedangkan subsidi listrik turun jadi Rp47,8 triliun dari target Rp53,6 triliun. Bila dibandingkan 2020, realisasi subsidi energi pada 2021 ini melonjak 37,4 persen. Realisasi subsidi energi pada 2020 mencapai Rp95,7 triliun, terdiri dari subsidi BBM dan LPG Rp47,7 triliun dan subsidi listrik Rp48 triliun.
Tahun 2022 subsidi energi ditargetkan naik menjadi Rp134 triliun, terdiri atas subsidi BBM dan LPG Rp77,5 triliun dan subsidi listrik Rp56,5 triliun. Jika tidak dikendalikan dengan penyesuaian harga BBM, LPG dan listrik, subsidi energi tahun ini bakal meroket seiring kenaikan harga minyak global, katanya.