Tekanan serupa juga dialami oleh seorang buruh pabrik di kawasan Cakung, Jakarta Utara, Sri Rahmawati, 43, yang penghasilannya setara upah minimum provinsi (UMP) di Jakarta. Sedangkan suaminya yang bekerja sebagai satpam dengan status pekerja alih daya, berpenghasilan di bawah UMP.
Rahma memiliki dua anak sebagai tanggungannya, juga masih membiayai orang tuanya yang berada di kampung halamannya di Nusa Tenggara Barat.
Kenaikan harga-harga yang belakangan terjadi membuat situasi keuangan Rahma terasa makin sesak, bahkan sampai harus berutang demi menutupi keperluan.
Dana THR yang akan cair pada tanggal 25 April mendatang, rencananya akan dia gunakan untuk menombok kebutuhan tersebut.
"Kalau sebelum-sebelumnya kan masih bisa kita berbagi kepada keluarga, beli kebutuhan Lebaran, kalau untuk tahun ini karena saya sebelumnya sudah menombok untuk kebutuhan sehari-hari, jadi ya enggak bisa full (THR) untuk persiapan Lebaran," kata dia.
Bahkan, Rahma juga harus menahan diri untuk tidak mudik karena tak ada cukup dana, meski telah dua tahun ia tidak pulang kampung saat Lebaran.
Baik Ardi dan Rahma sama-sama berharap pemerintah bisa kembali menstabilkan harga-harga, sehingga meringankan beban mereka.
Dengan demikian, anggaran THR yang hanya datang sekali setahun bisa kembali mereka manfaatkan untuk membeli baju anak, mengirimkan uang pada orang tua, dan keperluan Lebaran lainnya.
Sedangkan Ilham, pegawai negeri sipil di sebuah kementerian yang meminta namanya disamarkan, berpendapat kebijakan pemerintah mengucurkan dana THR bagi ASN belum setimpal dengan beban ekonomi yang ditanggung.
Meski nilai THR yang diterima ASN pada tahun ini meningkat dibanding tahun lalu, dia menyatakan bahwa jumlahnya masih 50% lebih kecil apabila dibandingkan dengan sebelum pandemi. Menjelang Lebaran ini, dia pun memilih untuk menahan pengeluaran untuk kebutuhan tersier.