"Efek kenaikan BBM ini akan memberikan dampak kenaikan inflasi karena 2 hal, yaitu karena aspek kesekonomian dan aspek psikologi pasar. Dalam konteks ekonomi, setiap kenaikan Harga Pokok Produksi (HPP) akan berakibat secara langsung terhadap harga akhir barang atau jasa. Sehingga harga di tingkat konsumen akhir atau masyarakat, akan mengalami kenaikan," tegas Ajib.
Sedangkan dalam konteks psikologi pasar, maka masyarakat yang terbebani konsumsinya karena kenaikan harga-harga.
Hal itu juga akan menaikkan harga produksinya, walaupun tidak ada efek secara langsung atas kenaikan HPP-nya.
Menarik kemudian, ketika pemerintah membuat paket kebijakan dengan menggelontorkan bantuan sosial (bansos) yang langsung dicairkan pada Bulan September ini.
"Di mana Bansos ini terbagi dalam 6 (paket), yakni Bantuan Subsisdi Upah (BSU), BLT Dana Desa, Kartu Prakerja, BLT Masyarakat, Bantuan Pokok Nontunai (BPNT) dan BLT UMKM. Alokasi bansos ini diambilkan dari dana APBN, yang bersumber dari program penanganan pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)," ucap Ajib.
Menurut Ajib, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melakukan langkah cerdas dengan mekanisme ini.
Karena secara jangka penjang akan mengamankan struktur APBN. Tahun 2023 nanti sudah habis masa berlakunya UU no. 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, sehingga selanjutnya struktur keuangan APBN kembali maksimal defisit 3% dari PDB.
"Setelah dimanjakan dengan UU ini, sehingga 3 (tahun) tahun berturut-turut APBN bisa defisit di atas 3%, tahun 2023 pemerintah harus kembali menyusun APBN dengan lebih prudent. Alternatifnya adalah dengan menambah penerimaan melalui peningkatan pajak, atau mengurangi beban subsidi," terang Ajib.
Ajib menyebutkan, pengurangan subsidi BBM ini adalah langkah rasional yang didorong oleh Kemenkeu untuk mengamankan APBN 2023.
Paket kebijakan pemerintah dengan memberikan bansos, relatif bisa menjawab potensi masalah dalam menjaga daya beli masyarakat.
"Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pemerintah akan menjaga inflasi? Ketika belum ada regulasi yang didorong untuk mengendalikan inflasi, maka proyeksi pemerintah akan sulit tercapai. Proyeksi inflasi akan terkerek di atas 4% secara agregat di akhir 2022. Jadi, pemerintah sudah relatif bisa menjaga potensi masalah jangka pendek atas tertekannya daya beli masyarakat, tapi masih ditunggu kebijakan strategis jangka panjang untuk bisa mengendalikan meroketnya inflasi," pungkas Ajib.
(Zuhirna Wulan Dilla)