Jika pemerintah tetap memaksakan untuk menutup layanan Argo Parahyangan, dia menyebut secara ekonomi, sangat mungkin akan banyak segmen penumpang beralih ke moda transportasi lain, salah satunya adalah bus.
Dia menegaskan menutup layanan Argo Parahyangan yang mampu mengangkut sekitar 8.000 penumpang per hari untuk beralih ke layanan kereta cepat dengan target angkut 30.000 penumpang per hari bukan menjadi solusi yang baik.
Lebih lanjut Ketua Dewan Profesor Unpad tersebut menjelaskan, sebagai monopoli jasa perkeretaapian di Indonesia, Pemerintah melalui PT KAI perlu mementingkan kepentingan konsumen ketimbang pemilik modal.
Menghilangkan Argo Parahyangan dikhawatirkannya juga akan berpotensi menyengsarakan konsumen.
“Monopoli yang terjadi secara alami seperti jasa kereta api ini perlu diregulasi atau dikelola monopolinya oleh negara agar kepentingan konsumen terjaga. Tetapi kalau pengelolaan monopoli ini malah mengabaikan kepentingan konsumen ini jadi regulasi monopoli salah kaprah. Kalau struktur pasarnya ada pesaing, masyarakat akan punya alternatif. Tetapi ini ‘kan tidak,” tegasnya.
Alternatif solusi yang bisa dilakukan salah satunya meningkatkan aksesibilitas kereta cepat dan meningkatkan efisiensi dan kenyaman dari transportasi pengumpan agar penumpang dapat beralih secara alamiah ke kereta cepat.
“Pastikan agar waktu tempuh point-to-point jauh lebih cepat daripada Argo. Misalnya, feeder-nya harus super efisien dan memberikan kenyamanan pada penumpang, sehingga penumpang punya pilihan tanpa perlu mematikan alternatif moda lain,” pungkasnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)