Penyerapan beras Bulog, menurut Arief, seharusnya dilakukan di semester satu dan bila dilakukan sekarang, menyerap 1,2 juta ton beras akan sulit karena tingginya harga gabah di pasar.
Solusi impor, yang selama ini hanya bersifat reaktif, yang dilakukan secara terencana dari jauh-jauh hari, menjadi penting mengingat ketersediaan cadangan beras tidak mencukupi hingga waktu panen mendatang yang baru akan mulai bulan Februari.
Bulog mengalami kesulitan dalam menyerap beras dalam negeri mengingat harga gabah yang sudah lebih tinggi dari harga beli Bulog yang sekitar Rp4.200 per kilogram.
Menurut Hasran, impor merupakan solusi logis mengingat harga beras nasional cenderung masih lebih mahal dibandingkan di pasar internasional, termasuk di beberapa negara tetangga seperti Filipina dan Thailand.
Kemudian, dia juga mengatakan proses produksi beras Indonesia sendiri belum efisien dan ini menjadikan harganya lebih tinggi. Sementara kualitasnya pun belum seragam.
"Melihat urgensi perlunya kepastian Perum Bulog memiliki stok yang mencukupi, seharusnya pemerintah mempertimbangkan opsi impor beras jauh-jauh hari selain penyerapan dari dalam negeri,” imbuh Hasran.
Dalam jangka yang lebih panjang, CIPS merekomendasikan upaya peningkatan produktivitas pangan dan peningkatan kapasitas petani agar terus dilakukan, termasuk dengan adopsi teknologi pertanian, modernisasi dan menarik investasi di bidang pangan dan pertanian.
Proses produksi yang efisien merupakan salah satu cara untuk meningkatkan daya saing beras dalam negeri.
(Zuhirna Wulan Dilla)