 
                Ketidakpastian tersebut bukan tanpa alasan lantaran tren peningkatan suku bunga global sedang terjadi, yang mana terdapat kenaikan bunga acuan 450 basis poin (bps) hingga 500 bps hanya dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan.
Tingginya kenaikan suku bunga ini, kata Sri Mulyani, tentunya akan menekan berbagai sektor ekonomi sehingga memunculkan banyak fenomena terutama selama tingkat inflasi masih tinggi.
Selain kebijakan moneter yang cenderung ketat dengan suku bunga tinggi serta peningkatan inflasi, terdapat pula tren arus modal keluar yang menambah ketidakpastian, terutama di negara berkembang (emerging markets).
Keluarnya modal asing menjadi guncangan tersendiri bagi nilai tukar di negara-negara berkembang, ditambah kondisi dolar AS yang menjadi relatif sangat kuat belakangan ini.
Maka dari itu, dia berpendapat situasi tersebut mengguncang global di sektor keuangan dalam bentuk efisiensi biaya dana (Cost Of Fund/CoF) dan terdapat risiko dari sisi mata uang, inflasi, dan suku bunga, sehingga muncul kemungkinan terjadi resesi di Eropa maupun Amerika.
"Kalau motor penggerak ekonomi dunia yaitu Amerika dan Eropa akan resesi sementara Tiongkok juga sedang dalam situasi yang tiba-tiba membuka perekonomian, inilah yang menimbulkan banyak dinamika untuk Indonesia waspadai," ujarnya.
(Dani Jumadil Akhir)