JAKARTA - Dana Pemerintah Daerah (pemda) yang mengendap di bank jadi sorotan. Ada beberapa faktor yang membuat dana tersebut malah tak terpakai.
Faktor pertama, arus dana pemda sejak Januari hingga Maret/April meningkat. Namun belanja biasanya baru direalisasikan mulai bulan Mei.
"Salah satu faktornya bisa saja, yang pertama adalah APBD itu secepatnya disahkan, sehingga pergerakan eksekusi program-program di daerah bisa dilakukan dengan lebih cepat," ujar Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF, Abdul Manap Pulungan, secara virtual di Jakarta, Senin (30/1/2023).
Baca Juga:Â Pendapatan DKI Jakarta Tembus Rp1.435,8 Triliun Ditopang Pajak
Faktor kedua, masalah di daerah adalah tender terbatas. Dia mencontohkan, tender penyediaan barang dan jasa yang di daerah justru beralih ke Jakarta semua.
"Hal ini mengakibatkan eksekusinya pun saling berebut antar daerah untuk program-program yang serupa," ucap Abdul.
Kemudian faktor ketiga adalah program tertentu seperti belanja barang, sebenarnya sudah ada e-katalog. Ada ketentuan pula dari pemerintah bahwa 40% dari dana K/L termasuk di daerah dialokasikan untuk pembelian produk-produk dari UMKM.
Baca Juga:Â Sri Mulyani: APBN Bukan Uang Saya tapi Punya Seluruh Masyarakat Indonesia
"Nah, kalau e-katalog itu efektif, sebenarnya realisasi anggaran dan belanja daerah itu akan lebih cepat dilakukan di daerah. Memang tidak semua daerah bermasalah, tetapi mayoritas dari daerah-daerah tersebut mengalami realisasi belanja yang seringkali menumpuk di daerah di akhir tahun," tambah Abdul.
Menurutnya, saat belanja menumpuk masalah yang kemudian muncul adalah isu kualitas belanja yang dilakukan. Situasi ini tidak hanya terjadi di daerah, tetapi juga di pusat.
Follow Berita Okezone di Google News