Selain itu, lanjutnya, biaya transaksi yang tinggi yang harus ditanggung industri pemakai (peternak dan pabrik pakan) turut mempengaruhi harga jagung. Hal ini timbul karena panjangnya rantai distribusi domestik yang melibatkan petani jagung, pengepul, pedagang, dan penggilingan, sebelum tiba di industri pengguna.
"Jagung domestik juga kurang diminati industri pengolahan bahan makanan karena kadar air dan tingkat aflatoksin yang tinggi," imbuh Azizah.
Jagung domestik umumnya dipanen secara manual dengan tingkat kadar air yang masih tinggi, sebagian mencapai lebih dari 35%, lalu dikeringkan dengan cara dijemur dan disimpan dengan tingkat kadar air 16-17%.
Menurutnya, proses ini memakan waktu lama, rawan memunculkan pertumbuhan jamur dan dapat menimbulkan biaya tambahan untuk pengeringan.
Sayangnya, Permendag 25/2022 (Perubahan atas Permendag 20/2021) hanya memperbolehkan BUMN dengan API-U untuk mengimpor jagung pakan ternak. Seharusnya pemenuhan kebutuhan jagung perlu didukung dengan membuka lisensi impor untuk pihak swasta.
"Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan untuk membuka kesempatan bagi swasta untuk impor jagung pakan ternak untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak," ungkap Azizah.
Lebih lanjut, karena telur ayam merupakan sumber protein utama di Indonesia, harga yang tinggi tentu akan mempengaruhi konsumsi protein, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Relaksasi impor jagung memungkinkan penurunan harga bagi konsumen akhir karena komposisi jagung dalam pakan hewan ternak mencapai 50%.
"Impor jagung akan menurunkan biaya produksi ayam sehingga menguntungkan, tidak hanya untuk produsen ayam tetapi juga konsumen, terutama yang berpenghasilan rendah, dengan akses kepada ayam dan telur yang lebih terjangkau," tandasnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)