JAKARTA - Staf Khusus Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Irwandy Arif mengungkapkan bahwa ada beberapa kendala yang dihadapi perusahaan dalam mendirikan smelter.
"Dari hasil pengamatan kami berinteraksi dengan industri yang akan mendirikan smelter, kita kelompokkan yang pertama kendalanya adalah pendanaan," ujarnya dalam sesi diskusi bertajuk 'Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah' di Jakarta, Senin (12/6/2023).
Kendala selanjutnya yaitu pasokan energi listrik kepada smelter, pembebasan tanah, hingga ke masalah perizinan.
Dijelaskan Irwandy, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah melakukan beberapa upaya guna mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Salah satunya, dengan melakukan pertemuan komprehensif antara industri yang mengalami kesulitan dengan perbankan hingga PT PLN.
Irwandy menuturkan, upaya tersebut dilakukan guna menjembatani pelaku industri pertambangan bauksit agar mendapat akses yang mudah. Namun demikian dirinya mengakui bahwa hal itu tak mudah dilakukan lantaran ada beberapa perusahaan yang sudah memiliki perjanjian dengan pihak lainnya.
"Mereka ada yang sudah punya perjanjian dengan pihak sponsor walau kemudian kenyatannya tersendat. Lalu soal pasokan energi, PLN sudah komitmen akan membantu mereka," sambungnya.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto juga mengakui bahwa proyek hilirisasi mineral membutuhkan investasi yang cukup besar. Tak tanggung-tanggung, ia menyebutkan, proyek hilirisasi umumnya memerlukan investasi hingga lebih dari USD1 miliar.
"Saya jarang melihat proyek hilirisasi kurang dari USD1 miliar. Dengan struktur seperti itu, tidak hanya modal ekuitas yang diperlukan, tetapi juga pinjaman bank," ujarnya.
Seto menuturkan, banyak dukungan dari lembaga keuangan internasional, utamanya dari Tiongkok, untuk menyuntikkan modal mereka pada awal wacana proyek hilirisasi di Indonesia.
Hal itu kemudian diikuti dengan ketertarikan perbankan nasional terhadap pembiayaan hilirisasi.
Selain itu, lanjut Seto, bank-bank di Singapur cukup agresif dalam membiayai proyek hilirisasi di Indonesia. Hal itu tak lepas dari realita dimana hanya sekitar empat sampai lima perbankan dalam negeri yang berkompeten untuk membiayai proyek tersebut. Adapun rata-rata dari US$1 miliar itu, sebanyak 30% dari ekuitas dan 70% berasal dari pinjaman perbankan.
Dia menambahkan bahwa dalam kaca mata pihaknya, perusahaan tambang bauksit lokal dalam negeri yang terlibat proyek hilirisasi telah memiluki punya relasi khusus baik dengan perbankan domestik maupun perbankan asal Singapura sehingga peran pemerintah untuk menjembatani tidak begitu diperlukan.
"Tapi yang kita perlukan adalah edukasi ke perbankan, pengetahuan soal industrinya, supaya mereka bisa lebih capable dalam memberi pinjaman," pungkasnya.
(Taufik Fajar)