JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mangatakan bahwa betapa beratnya dampak perubahan iklim bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Indonesia sebagai negara kepulauan, lebih dari 17 ribu pulau tentu menghadapi konsekuensi dan risiko dari perubahan iklim ini.
Data BMKG menunjukan bahwa selama hampir 40 tahun, dari 1981 hingga 2018, setiap tahun Indonesia mengalami kenaikan suhu sebesar 0,03 derajat centigrade celcius per tahun. Permukaan air juga naik 0,8 hingga 1,2 cm per tahun.
"Kelihatannya memang kecil, tetapi kalau 40 tahun ya berarti 40 cm atau menjadi setengah meter. Dan itu sangat bermasalah karena 65% dari masyarakat Indonesia hidupnya di wilayah pesisir," ujar Sri dalam Indonesia EBTKE ConEx ke-11 secara virtual di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Sri Mulyani mengakui sebagai Menkeu sudah sering mendapatkan banyak kabar, khususnya saat melakukan perjalanan dan tugas kerja ke kotanya, yaitu Semarang.
"Ke luar sedikit ke Demak, di situ selalu keluhannya tanahnya sudah hilang ditelan laut karena rob. Jadi, Indonesia sudah merasakan dan akan menghadapi implikasi yang tidak mudah dan tidak murah akibat perubahan iklim. Emisi gas rumah kaca Indonesia juga cenderung mengalami kenaikan. Setiap tahun menambah 4,3% per tahun, dihitung sejak 2010," terang Sri.
Hal yang menjadi pertanyaan penting selanjutnya perubahan iklim memiliki imbas yang merusak. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara masih harus membangun.
Pembangunan itu identik dengan naiknya konsumsi energi. Karena kalau orang membangun, makin sejahtera, yang tadinya tidak punya rumah, bisa punya rumah. Yang tadinya konsumsi listriknya hanya 450 VA menjadi 1.200 VA atau bahkan 2.000 VA, dan kalau itu dilipat gandakan dengan jumlah rumah tangga 78 juta, maka itu akan menjadi jumlah yang sangat besar.
"Sehingga, permintaan energi akan terus meningkat. Dan oleh karena itu, respon dari sisi suplai energi harus dilakukan. Kontradiksinya adalah bagaimana kita bisa melanjutkan memuaskan permintaan yang terus tumbuh dengan suplai energi yang tidak memperburuk gas rumah kaca yang setiap tahunnya sudah meningkat 4,3%," terang Sri.
Dia mengatakan bahwa ini kemudian menjadi tantangan, bukan hanya bagi pemerintah, tetapi pelaku industri dan masyarakat secara bersama-sama.
"Kalau perubahan iklim dibiarkan, maka kita harus juga bukan berarti kemudian tidak ada konsekuensinya, 80% dari bencana alam di Indonesia sekarang berhubungan dengan hidrometeorologi. Dan itu telah menimbulkan kerugian ekonomi yang diperkirakan nilainya bisa mencapai 0,66% hingga 3,45% dari PDB pada tahun 2030," ungkap Sri.
Dia mencontohkan, kalau PDB Indonesia sekarang Rp20 ribu triliun, dan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi terjaga di 5% atau bahkan ingin diakselerasi ke 6-7% dan inflasi, bisa dikatakan pendapatan per kapita naik menjadi 10 ribu dikalikan jumlah penduduk, Indonesia akan mungkin memiliki PDB sizenya bisa mencapai 2 kali lipat dalam kurun waktu kurang dari 7 tahun.
"Sekarang sudah 2023, dua kali lipat katakanlah Rp40.000 triliun, kemudian dikalikan 3,45% dari PDB itu berapa. Itu adalah kerugian, jadi secara pasti kita akan menghadapi potensi kerusakan dan kerugian yang sangat signifikan," pungkas Sri.
(Feby Novalius)