JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan upaya menghindari dampak perubahan iklim bukanlah sebuah tindakan latah atau ikut-ikutan.
"Bagi Indonesia, upaya untuk menghindari imbas katastropik dari perubahan iklim, bukan karena kita ingin ikut-ikutan latah secara internasional. Tetapi untuk memenuhi kepentingan kita sendiri," ujar Sri Mulyani, dalam Indonesia EBTKE ConEx ke-11 secara virtual di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Indonesia bahkan sudah menyampaikan komitmen untuk mengurangi emisi karbon dalam bentuk National Determined Contribution (NDC), di mana kita berkontribusi secara global mengurangi emisi CO2 dengan target pengurangan 29% dan bahkan baru saja ditingkatkan menjadi 31,89% dengan upaya sendiri.
Kalau mendapatkan dukungan internasional, Indonesia bahkan berambisi menurunkan emisi global hingga 41% yang bahkan ditingkatkan menjadi 43,2%.
"Ini artinya di satu sisi kita akan ada permintaan energi yang makin tinggi karena masyarakat makin maju, makin sejahtera, konsumsi energinya makin tinggi, dan oleh karena itu, pembangunan pembangkit listrik akan terus meningkat. Tetapi bagaimana supaya kita membangun jumlah kapasitas pembangkit listrik tanpa memperburuk CO2 atau bahkan menurunkan hingga 41% emisi CO2," ungkap Sri.
Oleh karena itu, forum yang dia hadiri ini menjadi sangat penting dan relevan. Kalau forum ini tidak bisa menjawab, maka tidak ada satupun di Indonesia ini yang bisa menjawab.
"Jadi ini saya memberikan pressure ke pak Hilmi Panigoro. Karena solusi satu-satunya untuk permintaan energi yang terus tumbuh yang direspon dengan tumbuhnya suplai untuk energi tanpa memperburuk atau bahkan mengurangi emisi CO2 adalah energi terbarukan. Itu adalah satu-satunya cara," jelas Sri.
Indonesia sudah membuat estimasi untuk kita bisa mencapai komitmen NDC itu dibutuhkan Rp4.000 triliun. Untuk memberi sedikit perspektif, APBN Indonesia satu tahun itu sekitar Rp3.000 triliun.
"Jadi Rp4.000 triliun berarti lebih besar dari 1 tahun APBN Indonesia untuk biaya ini hingga 2030. Dan oleh karena itu, kita tahu bahwa tidak mungkin kebutuhan biaya untuk bisa menciptakan dan menyampaikan tekad Indonesia untuk mengurangi CO2 berasal dari APBN saja. Peranan sektor swasta dan masyarakat menjadi sangat penting. APBN mungkin kontribusinya bisa hanya sekitar 10%, tidak mencapai 20%," terang Sri.
Namun APBN bisa memberikan leverage melalui berbagai insentif. Oleh karena itu di dalam fiscal tools, pemerintah memberikan insentif untuk munculnya pembiayaan inovatif dan bagaimana menarik lebih banyak investasi sektor swasta untuk masuk ke proyek-proyek hijau dan industri hijau. Karena tidak hanya sekadar membangun pembangkit yang renewable, tetapi industri-industri yang menggunakan listrik secara lebih hemat, dan bahkan sampai ke rumah tangga menggunakan listrik yang lebih hemat akan menjadi solusi yang cukup signifikan.
Pemerintah bisa memberikan instrumen dari mulai tax holiday, tax allowance, fasilitas pembebasan PPN, bea masuk, dan juga PBB. Kemenkeu juga mengembangkan berbagai instrumen, kita punya instrumen keuangan seperti green bonds, green sukuk bonds, dan juga menggunakan instrumen institusi Special Mission Vehicle (SMV) seperti IIF atau geothermal yang dimiliki oleh Kemenkeu.
"Kita juga mengembangkan melalui PT SMI, SDG Indonesia Bonds yang merupakan platform untuk bekerja sama dari sisi keuangan antar seluruh komponen yang berpotensi untuk memberikan pembiayaan dari sisi perubahan iklim maupun SDGs seperti sektor swasta, bilateral, multilateral, dan juga dari sisi pembiayaan swasta melalui issuance atau penerbitan bonds dan filantropi," pungkas Sri.
(Feby Novalius)