Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Usai 3 Perusahaan Minyak Goreng Jadi Tersangka, Pengusaha Sawit Lebih Hati-Hati

Heri Purnomo , Jurnalis-Senin, 18 September 2023 |14:05 WIB
Usai 3 Perusahaan Minyak Goreng Jadi Tersangka, Pengusaha Sawit Lebih Hati-Hati
Perusahaan Sawit Lebih Hati-Hati. (Foto: Okezone.com/Kemenkop)
A
A
A

JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengungkapkan bahwa pengusaha kelapa sawit sekarang lebih hati-hati dalam menjalankan usahanya.

Hal ini setelah tiga perusahaan di sektor industri sawit, Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan minyak goreng.

Ketua Umum Gapki Eddy Martono menilai, peristiwa tersebut menjadi catatan serius bagi kalangan usaha, bila dikemudian ada program lain dari pemerintah yang melibatkan pengusaha swasta.

"Ke depan, perusahaan akan sangat berhati-hati agar masalah ini tidak terjadi lagi. Artinya setiap ada kebijakan seperti yang lalu perusahaan akan melihat dulu dampak ke depan bagi perusahaan tersebut," katanya, Senin (18/9/2023).

Eddy menegaskan, pengusaha swasta tentu tak akan antipati terhadap program pemerintah, apalagi bila itu demi kepentingan masyarakat. Hanya saja, pelaku usaha khususnya di sektor kelapa sawit akan lebih hati-hati bila kebijakan yang dikeluarkan menimbulkan keraguan. Seperti misalnya, cepat berubah-ubah atau menimbulkan risiko bagi perusahaan.

Konsekuensinya, program yang dijalankan tidak akan bisa cepat dieksekusi karena perusahaan swasta lebih berhati-hati sebelum menjalankan program pemerintah.

"Apabila terjadi keraguan perusahaan akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan pemerintah artinya implementasinya tidak bisa cepat karena kehati-hatian perusahaan," tegasnya.

Adapun terkait soal kebijakan pengendalian harga minyak goreng yang menyeret 3 perusahaan swasta di atas dalam pusaran kasus korupsi, sebenarnya risiko itu pernah diingatkan sejumlah pihak. Mereka utamanya menyoroti soal kebijakan yang berubah dengan cepat dan terkesan 'salah resep'.

Selain itu, sorotan juga mengarah pada penetapan tiga perusahaan padahal tindakan yang dilakukan perusahaan tersebut adalah dalam rangka menjalankan program pemerintah.

Di sisi lain, Ahli Hukum Pidana UNPAD, Nella Sumika Putri mengatakan, bila yang dilakukan oleh perusahaan itu memang melaksanakan aturan hukum yang dibuat pemerintah, maka apa yang dilakukan perusahaan tersebut sangat bisa dibenarkan. Ada alasan pembenar untuk melakukan perbuatan itu, menurut Nella.

"Contohnya, ada sebuah produk ada aturan HET-nya maksimal Rp1.000, namun karena keadaan tertentu ada suatu aturan lain yang membuat orang boleh jual di atas HET contoh dia jual Rp1.500, nah yang dilakukan orang itu dibenarkan oleh hukum, karena ada aturan yang dibuat oleh pemerintah," tutur dia mencontohkan.

Sebelumnya, hasil kajian yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), kebijakan pengendalian harga minyak goreng sudah salah sasaran sejak awal.

"Konsumsi minyak goreng rumah tangga 61% merupakan minyak curah, namun kebijakan yang dilakukan adalah subsidi pada minyak kemasan. Di sisi lain, infrastruktur untuk pelaksanaan subsidi minyak goreng kemasan dianggap lebih baik dibandingkan infrastruktur minyak goreng curah," kata Peneliti Indef, Rusli Abdullah Senin (31/7/2023) silam.

Rusli memandang kebijakan subsidi tersebut pada akhirnya memunculkan panic buying pada pasar ritel modern akibat respons penurunan harga yang lebih cepat dibandingkan di pasar tradisional.

Padahal, kapasitas pasar ritel modern hanya bisa memenuhi kapasitas konsumsi nasional sekitar 10% dari kebutuhan rumah tangga sebesar 3,9 juta kilo liter per tahun atau 325 juta liter per bulan.

Artinya, pasar ritel modern dengan jaringan distributornya hanya mampu menyediakan sekitar 325 ribu liter per bulan atau 3,9 juta liter per tahun. Faktanya, 61% atau 2,4 juta kilo liter per tahun kebutuhan minyak goreng ada di jenis minyak goreng curah.

Faktor infrastruktur yang menjadi penyebab tidak efektifnya subsidi minyak goreng sejalan dengan fakta kebutuhan minyak goreng rumah tangga yang sebagian besar dalam bentuk minyak curah.

"Kritik atas kebijakan subsidi muncul. Salah satu sebabnya adalah kebijakan subsidi ini dinilai tidak efektif karena bias pasar atau segmen," tegasnya.

Kajian INDEF itu sejalan dengan temuan yang diperoleh Ombudsman Republik Indonesia. Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengatakan, penanganan perkara ini tak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Ia menyoroti soal strategi pengendalian harga minyak goreng yang semuanya digerakkan berdasarkan aturan yang dibuat pemerintah.

"Di dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) kan sudah jelas, jawaban Ombudsman terkait masalah ini. Pangkal mula dari persoalan ini adalah ketidak mampuan Kemendag dalam memitigasi dampak kenaikan harga CPO," kata Yeka dihubungi, Jumat (25/8/2023) lalu

Dia juga menyinggung kerap bergantinya kebijakan pemerintah kala itu dalam rangka mengendalikan harga minyak goreng yang justru berpotensi menimbulkan kebingungan di tingkat pelaksanaan.

"Banyaknya jumlah peraturan menteri yang diterbitkan dalam kurun waktu yang relatif sangat singkat untuk mengendalikan permasalahan minyak goreng, namun tidak mampu mengatasi permasalahan minyak goreng yang dihadapi dalam waktu cepat. Sehingga menimbulkan kerugian pelaku usaha dan masyarakat," ujarnya.

(Feby Novalius)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement