JAKARTA – Transisi energi akan akan sulit direalisasikan jika energi yang relatif lebih bersih seperti gas alam cair (LNG) harganya masih relatif tinggi, terutama untuk energi listrik. Jika harga gas mahal, program konversi energi terbarukan memerlukan investasi yang besar.
Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga Radiandra, mengungkapkan dengan melimpahnya gas alam di Indonesia, harusnya transisi energi bisa dipercepat.
Apalagi Indonesia telah berkomitmen untuk net zero emission pada 2060. Namun, saat ini ujar dia, pembangkit tenaga diesel yang menggunakan solar masih banyak, yakni berjumlah 5.200 yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Jika dengan harga gas di atas USD10 (per mmbtu) itu rasanya sulit untuk membangun fasilitas penunjang untuk menggantikan solar jadi gas. Investasinya terlalu besar, namun akan menjadi menarik jika harga acuannya adalah harga diesel yang mana targetnya mengurangi ketergantungan kita akan listrik tenaga diesel yang itu solar bahan bakarnya. Apalagi di lapangan banyak sekali penyelewengan, pencurian solar itu sangat riskan,” ujar Daymas, Senin (9/10/2023).
Dia mengungkapkan, program dedieselisasi baik menggunakan gas alam cair, geothermal atau energi bersih lainnya bisa mengefisiensikan juga kehilangan anggaran PT PLN dari diesel dan batubara.
“Idealnya harganya di atas USD6 dan di bawah USD10 sudah cukup menarik sebenarnya. Sudah win win. Karena bicara LNG, bukan gas seperti PLTG yang hanya menggunakan jalur pipa gas namun ini gas yang sudah diproses sedemikian rupa sehingga memiliki faktor dimensi yang jauh kecil dari CNG (gas terkompresi) atau kebutuhan jalur kebutuhan pipa jalur biasa. Sehingga ini merupakan efisiensi yang lain, efisiensi logistic dan juga efisiensi Pembangunan infrastruktur,” jelas Daymas.