Selain itu, Esther meragukan program konsumtif semacam ini bisa memberikan efek ganda pada perekonomian Indonesia.
“Seharusnya masyarakat diberi kailnya, bukan ikannya. Itu akan lebih produktif kalau Rp120 triliun sampai Rp450 triliun itu digunakan untuk investasi di bidang pendidikan dan membuka kesempatan kerja seluas-luasnya,” ujar Esther.
Koordinator Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, justru khawatir yang terjadi malah sebaliknya mengingat kapasitas produksi bahan-bahan pangan di Indonesia sampai saat ini bahkan belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi.
"Dengan kondisi sekarang saja, kita tidak bisa memenuhi kebutuhan harian. Susu, ikan, daging kita masih impor. Beras dalam kondisi sekarang pun berat juga, untuk konsumsi normal saja morat marit,” kata Said.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi beras Indonesia pada 2023 susut menjadi 30,89 juta ton. Sedangkan angka konsumsinya mencapai 35,3 juta ton.
Belakangan ini pun, pemerintah mengimpor 600.000 ton beras untuk menutupi defisit produksi beras dalam negeri, yang telah mengakibatkan harga beras melonjak tinggi.
Situasi tersebut, kata Said, menggambarkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk mencapai kedaulatan pangan sehingga program semacam ini tidak bergantung pada impor.
Selain itu, 20.000 desa akan dilibatkan untuk membangun peternakan ayam pedaging dan petelur; penggemukan sapi serta usaha sapi perah; 2.000 desa nelayan untuk penyediaan ikan segar; dan ribuan desa lainnya untuk memenuhi kebutuhan sayur, buah-buahan, dan bumbu masakan.
(Feby Novalius)