Kementerian Perindustrian baru mendiseminasikan tata cara penerbitan dokumen pertimbangan teknis, yang dibutuhkan untuk mengurus persetujuan impor produk elektronik, pada 8 April. Dari sana, publik ramai membahasnya.
Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kementerian Perindustrian, Priyadi Arie Nugroho, berharap kebijakan ini dapat mendorong pertumbuhan industri elektronik domestik, termasuk memicu pemain lokal untuk meningkatkan kapasitas pabrik dan membuat produk dengan jenis yang lebih beragam.
Namun, Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) mengatakan pembatasan impor saja tidak cukup untuk meningkatkan daya saing industri.
Banjir barang impor
Semua bermula dari rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, pada 6 Oktober 2023.
Saat itu, Presiden Joko Widodo meminta para menteri terkait untuk memperketat impor delapan komoditas berbeda: mainan anak-anak, elektronik, alas kaki, kosmetik, barang tekstil jadi, obat tradisional dan suplemen kesehatan, serta tas.
Alasannya, barang impor disebut telah membanjiri pasar tradisional dan lokapasar daring atau e-commerce, membuat pasar-pasar tradisional sepi hingga memicu PHK di pabrik-pabrik tekstil.
Neraca dagang produk elektronik pun tercatat defisit pada 2023. Maksudnya, nilai impornya lebih besar dari ekspor.
Karena itu, pemerintah memutuskan memperketat impor 655 barang yang masuk ke delapan kategori komoditas tersebut. Ini termasuk 78 produk elektronik dengan kode pos tarif (HS) berbeda.
Bagaimana cara memperketatnya? Dengan memindahkan wewenang pengawasan produk impor dari luar perbatasan ke area perbatasan, tepatnya ke kawasan pabean yang dikendalikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan.
Sebagai catatan, kawasan pabean adalah tempat pemungutan bea masuk dan keluar.
Dengan memindahkan wewenang tersebut, pelaku usaha yang ingin mengimpor 655 barang yang terdampak itu harus memiliki persetujuan impor yang diterbitkan Kementerian Perdagangan dan laporan surveyor yang menyatakan kesesuaian barang yang diimpor.
Sebagai catatan, individu atau badan usaha bisa mengimpor sejumlah barang tanpa harus membayar pajak atau bea impor asalkan tidak untuk kegiatan usaha.
Barang-barang bebas bea impor ini termasuk barang kiriman pekerja migran Indonesia, barang pindahan seseorang yang pulang ke Indonesia setelah lama menetap di luar negeri, atau barang pribadi penumpang.