Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Impor Kulkas hingga AC Dibatasi, Apa Dampaknya ke Konsumen?

Saskia Adelina Ananda , Jurnalis-Sabtu, 13 April 2024 |10:06 WIB
Impor Kulkas hingga AC Dibatasi, Apa Dampaknya ke Konsumen?
Impor Barang Kulkas dan AC (Foto: Okezone)
A
A
A

Di sisi lain, ada pula pengguna X yang bisa menerima pembatasan impor barang tertentu, misalnya AC impor yang dianggap kerap boros energi. Namun, kalau kebijakan ini memicu kenaikan harga signifikan, ia pun tak setuju.

Krisna Gupta, peneliti di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), menilai industri lokal lebih siap memproduksi barang elektronik untuk konsumen kelas menengah ke bawah.

Karena itu, ia yakin pabrik lokal bisa memenuhi permintaan barang-barang seperti AC atau kulkas yang masuk kategori low-end atau memiliki harga terjangkau.

"Indonesia ini market-nya mostly adalah orang yang menengah ke bawah. Jadi, mereka pakai AC yang bukan menggunakan inverter, AC yang PK kecil," kata Krisna.

"Yang kayak gini-gini harusnya permintaannya bisa terlayani. Tentu saja pertanyaannya, harganya berapa? Bisa nggak menyaingi produk serupa? Tapi kalau pertanyaannya apakah bisa bikin? Bisa."

Lain halnya dengan produk-produk elektronik mahal atau high end yang berteknologi mutakhir dan memiliki kompleksitas tinggi. Menurut Krisna, produk macam ini sulit diproduksi sendiri di dalam negeri.

Andry Satrio Nugroho, Kepala Center of Industry Trade and Investment INDEF, juga mengatakan hal senada.

Menurutnya, langkah pemerintah membatasi impor akan mengeliminasi kompetisi. Tanpa ada kompetisi, sulit muncul inovasi produk dan harga pun berpotensi dimainkan sendiri oleh pemain yang ada.

"Awalnya kita punya pasar yang persaingannya cukup besar, yang kita harapkan harga itu bermain di situ," kata Andry.

"Ini sekarang karena tidak cukup besar pemainnya, pemainnya hanya di dalam negeri, dan pastinya dari segi kualitas tidak cukup baik, jadi masyarakat akan menikmati produk dengan kualitas yang tidak cukup baik, tetapi harganya mahal."

Mengapa pemerintah mengambil 'jalan pintas'?

Andry Satrio Nugroho dari INDEF menilai pembatasan impor produk elektronik adalah "jalan pintas" yang diambil pemerintah di tengah ketidakmampuan untuk membangun industri elektronik domestik yang kompetitif.

Ada sejumlah hal yang disebut membuat investor enggan membangun pabrik produk elektronik di Indonesia, salah satunya adalah tingginya biaya produksi, entah biaya impor bahan baku, biaya tenaga kerja, ataupun biaya energi.

Selain itu, urusan birokrasi yang rumit di Indonesia pun disebut sebagai faktor lain.

"Kemenperin itu mencari jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut dengan menutup kompetisi yang ada," kata Andry.

Beda halnya dengan Vietnam, tambahnya, yang berhasil menarik banyak produsen elektronik untuk berinvestasi di negaranya. Itu bisa terjadi karena biaya produksi di sana kompetitif dan iklim investasinya baik, katanya.

"Industrial policy [di Vietnam] menurut saya bukan sekedar populis, seperti yang kita saksikan pada hari ini di Indonesia di mana lebih banyak ada larangan dan pembatasan. Mereka lebih kepada bagaimana bisa mendorong ekspornya," kata Andry.

Krisna Gupta dari CIPS menambahkan, tingkat suku bunga yang relatif tinggi di Indonesia juga membuat kredit jadi mahal. Lalu, ada pula masalah ketidakpastian kebijakan.

"Jadi sebenarnya macam-macam permasalahannya yang berujung ke manufaktur kita tidak kompetitif. Akhirnya ya sudah, jalan singkat menurut pemerintah adalah diblokir, dikurangi impornya," kata Krisna.

"Akhirnya merembet ke final goods-nya yang perlu untuk dilindungi."

Pemerintah berharap dapat memancing para produsen elektronik asing untuk membangun pabrik di Indonesia.

Namun, kata Krisna, itu butuh waktu. Dan, selama masalah-masalah yang ada belum ditangani dengan baik, sulit bagi Indonesia untuk menyaingi negara-negara seperti China dan Vietnam untuk menjadi magnet investasi asing.

Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) pun mengatakan pembatasan impor saja tidak cukup untuk meningkatkan daya saing industri.

"Masih ada masalah-masalah rumit lainnya seperti lemahnya hilirisasi industri bahan baku dan komponen inti," kata Daniel Suhardiman, Sekretaris Jenderal Gabel.

(Taufik Fajar)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement