JAKARTA - Era digital yang saling terhubung menghadirkan peluang baru namun tetap ada risiko ancaman siber tidak bisa diabaikan.
Penting untuk mengenali modus kejahatan siber dan cara mengantisipasinya guna melindungi kepentingan pribadi dan bisnis dari ancaman tersebut.
Head of Risk Southeast Asia Visa Louis Smith menyampaikan, telah melihat berbagai modus kejahatan siber di sektor keuangan yang mengincar nasabah dan kliennya, terutama terkait kejahatan pembayaran (payment fraud).
“Yang menarik, jumlah penipuan keuangan global mencapai USD3,5 triliun per tahun, setara dengan negara ekonomi terbesar kelima di dunia,” ungkapnya di Jakarta.
Louis melanjutkan, setidaknya ada sembilan modus ancaman siber dari tiga kelompok besar kejahatan digital yang patut diwaspadai masyarakat, khususnya pelaku jasa keuangan dan perbankan.
Kelompok pertama yang terkait dengan penipuan (fraud), yang modusnya berupa rekayasa sosial (social engineering), pembobolan informasi pribadi (enumeration attacks), manipulasi token atau pengenal digital (token provisioning), serta peretasan menggunakan software jahat (skimming and malware).
Kelompok kedua yang terkait dengan pencucian uang hasil kejahatan dan pendanaan terorisme. Modus kejahatannya, antara lain menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan uang hasil tindak pidana menggunakan transaksi perdagangan yang sah (money laundering) serta pengambilalihan akun seseorang atau entitas untuk menguasai asetnya (account takeover).
Kelompok ketiga masuk kategori serangan siber (cyber attack). Modus kejahatannya meliputi pelanggaran data rahasia (data breaches), serangan yang menyebabkan kegagalan layanan atau denial-of-service (DDoS) attack, serta mengunci data pelanggan perusahaan atau lembaga untuk kemudian diperjualbelikan (ransomware).
“Saya pikir itu adalah ancaman yang besar dan saat ini kita berbicara tentang betapa mudahnya anda sebagai konsumen menjadi sasaran,” katanya.