JAKARTA - Industri keramik nasional, khususnya pada produk ubin keramik menghadapi sejumlah tantangan. Persaingan ketat dengan produk impor, terutama dari Tiongkok, serta kenaikan berbagai biaya produksi dan transportasi, telah menggerus daya saing industri ini.
Ketua Tim Kerja Pembina Industri Keramik dan Kaca Kementerian Perindustrian Syahdi Hanafi mengungkapkan, industri ubin keramik dalam negeri mengalami penurunan daya saing. Produk ubin keramik dari Tiongkok menjadi pesaing karena pemerintah Tiongkok memberikan insentif berupa tax refund sebesar 14% kepada produsen mereka.
Tak hanya itu, kenaikan biaya produksi merupakan tantangan besar lainnya. Pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS, biaya produksi ubin keramik meningkat sekitar 5% hingga 6%.
"Karena semua penggunaan gas, bahan bakar itu hitungannya USD, jadi begitu naik ya otomatis naik, berat juga," kata Syahdi dalam diskusi bertajuk ‘Menguji Rencana Kebijakan BMAD Terhadap Keramik’ di Jakarta pada Selasa (16/7/2024).
Selain itu, harga gas bumi yang menjadi salah satu komponen utama dalam produksi ubin keramik juga mengalami kenaikan. Per 19 Mei 2023, harga gas bumi di Jawa bagian barat naik dari USD6 per MMBTU menjadi USD6,5 per MMBTU. Sedangkan di Jawa bagian timur naik dari USD6 per MMBTU menjadi USD6,32 USD per MMBTU.
“Jadi kalau yang harganya USD6 persis itu sudah gak ada, kurang lebih,” imbuh Syahdi.
Syahdi melanjutkan, biaya transportasi atau ongkos angkut keramik juga mengalami kenaikan yang signifikan. Per 1 September 2022, biaya transportasi naik sekitar 2% hingga 3% dari harga jual keramik.